Bendot kawan dekat ku, si negoisator ulung. Tidak tahu pengetahuan lobi apa yang ia studi, tiap saat ia bernegoisasi selalu berbuntut positif. Serta berulangkali saya tidak dapat menampik ajakannya. Seluruh di atas merupakan beberapa nama rahasia. Seperti juga pelaksana kejahatan, kami di sekolah pula gunakan nama rahasia. Kode alias Bendot, Sunarji alias wok ji, Bahroni alias mbah, serta saya sendiri tiada alias. Micky nama yang asing untuk orang indonesia, serta cukup wakili nama rahasia.
Mulai sejak keluar eskul Penyuka Alam serta masuk dengan Reporter, saya malah bisa lebih banyak kenal alam. Sejumlah pendakian gunung2 di jawatimur, dan susur pantai kerap saya kerjakan bersama teman2 pendaki serta anggota penyuka alam yang dahulu saya turuti. Wilis memanglah bukan pertamanya, saya telah ingat dengan medan pendakian. Tidak demikian susah. Tetapi saya belum tahu narasi perihal gunung itu...
Matahari cukup terik di sabtu siang yang panas. Masih tersisa 2 jam pelajaran praktikum. Namun saya malas balik ke bengkel, masih ku cicipi tegukan-tegukan es teh paling akhir ku di kantin. Ku lirik di samping kananku ada pak Waluyo yang sedang asyik nikmati nasi pecel nya, sekalian kadangkala menyesap kopi hitamnya yang panas. Tatapannya tidak terlepas dari koran lokal ini hari.
"ada kabar apa pak?"
saya cukup mengenal pak waluyo, kesibukan extra kurikuler reporter kerap menggelar diklat malam di sekolah mensyaratkan ku terkait dengan pak waluyo berkaitan izin keamanan sekolah. Beliau orang pasuruan serta sepanjang bekerja di sini faksi sekolah siapkan rumah berwujud rumah kecil dipojok sekolah . Sehingga ia tahu segala keterkaitan perihal sekolah ini, termaksud banyak cerita horor yang pernah sempat ia alami. Namun ini hari saya tak mau ajukan pertanyaan bab itu.
Saya memandang pak waluyo lebih pada orang penjaga sekolah. Ia mempunyai pengalaman yang lumayan banyak. Kemungkinan ia bukan orang pendaki gunung, namun saat mudanya nyata dipenuhi dengan perihal-perihal yang menentang.
...
jam 14.15 kami telah siap di stasiun Blitar, menanti kereta ketujuan stasiun Ngadiluwih Kediri. Gerbang masuk kami ketujuan gunung wilis. Di kereta itu pula rekan-rekan dari Talun menumpang. Saya, Bendot, serta Wok Ji pergi dari stasiun Blitar. Sedang Mbah tidak dapat pergi bertepatan, lantaran satu acara ia susul besoknya. Mbah alias Bahroni punyai perawakan kurus kecil, tapi pandai, pemberani serta menyintai alam. Ia termaksud anak pandai di kelas.
Tidak berapa lama kemudian pluit panjang mengeluarkan bunyi berarti kereta jalur Kertosono siap masuk ke stasiun Blitar. Perlahan kereta masuk lajur 2, serta dari jejeran gerbong belakang ku tonton sebagian orang berdiri di pintu panggil2 kami yang sejak dari barusan menanti kereta. Mereka rekan-rekan kami dari Talun. Wanita-wanita pendaki yang kokoh.
"watsaabb sooob... gerbong belakang saja ya... tenang logistik aman... tidak dapat kelaparan kita...wkwkwk"
Gayul alias Yula, perawakannya kecil tapi edan dapat naik gunung. Perjalanannya naik gunung melampaui saya. Ia pula banyak memiliki rekan banyak pendaki seluruhnya indonesia. Saya sangat percaya seumpama kami salah jalan serta bertahan hidup di rimba karenanya nyata ia yang amat lama dapat bertahan hidup. Ia lebih cinta gunung dari cowok, itu yang bikin ia tetap masih jomblo.
Bendot selalu dapat menjadi ice breaker di antara kami. Karakternya yang periang kadang-kadang jadi "kotak musik" saat pendakian, lantaran tidak berhenti-hentinya ia meracau. Tapi dibalik itu ia pula jadi pemikir yang tenang saat kami mengenyam soal buntet, ia selalu dapat memberinya pemecahan meskipun kadang-kadang bukan pemecahan yang pandai.
Kereta kami jalan perlahan-lahan tinggalkan stasiun Blitar, lebih kurang 1 jam perjalanan ketujuan Ngadiluwih. Stasiun Ngadiluwih merupakan suatu stasiun kecil tapi sudah berumur tua. Samping selatan kota Kediri.
Setelah tiba di stasiun Ngadiluwih, saya rasakan benar aura penjajahan di stasiun ini. Beberapa stasiun di indonesia merupakan warisan belanda. Mulai arsitektur serta jenis bangunan seluruh merupakan perancangan masa penjajahan belanda. Stasiun jadi tempat transportasi yang sekalian saksi bisu penindasan tentara belanda kepada kelompok pribumi.
Kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ketujuan kecamatan Mojo. Kecamatan kecil di hilir sungai. Jaraknya lebih kurang 2-3 kilo mtr., tidak ada kendaraan umum. Jalan hanya satu merupakan lewat jalan dusun yang masih belum beraspal serta bedebu. Untuk menggapai kecamatan mojo, kami mesti melewati sungai gunakan perahu tambang. Penduduk disitu rata-rata menyebut "Tambangan" perahu kayu yang di hubungkan dengan tali tambang. Ini merupakan teknik preferensi ketimbang mesti memutar cari jembatan paling dekat.
Lebih kurang 1 jam jalan kaki, kami hingga sampai di kecamatan mojo. Disitu kami mesti cari tumpangan mobil pick up untuk naik ke tamasya air terjun Irenggolo lewat Sambangii. Irenggolo merupakan pos paling akhir, sebelumnya lantas perjalanan mesti di lintasi dengan jalan kaki naik melalui rimba. Sepanjang perjalanan gunakan pick up panorama sangatlah baik dengan bentangan rimba serta ladang2 penduduk yang nampak hijau. Meskipun langit telah mulai mendung, namun semangat kami tidak terhenti
Romusha merupakan lembah dari seluruh pucuk di wilis. Suatu daratan rendah sebagai spot camp pujaan banyak pendaki. Selain terletak miring, sumber air berwujud sungai lantas dekat. Romusha serta sejumlah pucuk di gunung wilis membuat suatu kombinasi sama dengan tapal kuda. Yang panoramanya tampak lanskap kota Kediri. Itu mengapa Romusha jadi spot pujaan, lantaran panorama nya bagus serta elok.
Sehabis Pick up hingga sampai pos paling akhir, Jam 16.45 kami menambahkan perjalanan ketujuan lembah romusha di tengah-tengah hujan gerimis yang dingin. Melalui jalan setapak di antara rimba pinus. Saya memandang sejumlah alat berat terparkir di kitaran situ. Kayaknya pemerintahan dapat buka jalan anyar di sana ketujuan Air Terjun Ndolo. Air terjun anyar yang beberapa saat lalu di temui oleh banyak pendaki. Yang mana terang masalah ini dapat menghancurkan rimba serta pelestarian alam lebih kurang untuk beberapa pundi rupiah dari wilayah tamasya.
Perduli apa saya perihal mereka, saya cuman memercepat langkahku supaya lekas hingga sampai ke romusha. Sehabis sekejap jalan melalui rimba pinus datang lah kami mesti naik untuk melalui rimba liar. Di sini kami mesti membuat perubahan komposisi barisan. Bendot di muka senter, cewek2 di tengah-tengah bawa 1 lampu minyak serta saya amat belakang dengan suatu lampu minyak jadi penyapu jalan.
Hari telah mulai gelap, terdapat banyak soal yang harus dicermati dalam pendakian malam hari. Kecuali medan yang kita menempuh riskan dapat jurang, kita pula butuh perhatikan tanah atau jembatan kayu yang kita injak. Lantaran kalau tidak hati-hati, bahaya terjebak hendak terjadi. Masalah ini yang kerap dirasakan banyak pendaki terjebak masuk jurang lantaran tidak perhatikan apa yang ia injak.
Serta satu kembali... ketentuan yang tidak terkata olah siapa sajakah pendaki yang berapakah di barisan amat belakang saat pendakian malam...
Banyak pendaki yang mengetahui dapat kondisi itu, serta apes nya... saya menyalahi ketetapan itu...
kami jalan dengan barisan yang cukup rapat. Cuman berjarang 1/2 mtr. dari orang yang di depannya. Serta kadangkala kami tidak ada untuk menegaskan seluruh anggota ada serta baik2 saja. Serta kembali untuk menegaskan supaya tidak ada "penyusup" di antara barisan. Kemungkinan kalian mengetahui apa yang saya terangkan jadi "penyusup"...
Lebih kurang 1 jam perjalanan sehabis masuk rimba, saya yang berapakah amat belakang mulai terasa ada yang ganjil. Saya terasa sisi belakang kepalaku macam ada embusan angin hangat. Namun bukan angin yang mengenai lampu minyak yang tengah saya membawa pada tangan kanan ku. Ini terasa dekat di kepala belakangku berasa sampai ke leher.
Lebih seperti embusan napas, lambat serta teratur. Tapi berasa cukup hangat untuk ukuran udara gunung yang dingin. Saya mulai tidak focus dengan barisan, nyaris ketinggal 3-4 mtr. dari barisan di muka ku. Saya lagi memikir embusan apa ini yang kadangkala diam serta kadangkala berasa. Serta mendadak ransel yang kubawa bertambah berat. Aneh... mengapa ini? Ransel yang ku membawa cuman berisi busana serta sejumlah logistik. Serta saat ini jadi berat, lebih berat dari pertama saya membawakannya.
Tak mungkin cuma karena gerimis, tas jadi demikian berat. Pundak ku juga mulai berasa sakit. Mengapa ini? Langkahku lantas turut melamban. Tapi kalau saya stop, saya dapat ketinggal jauh dari teman-temanku di muka. Saya lagi jalan sekalian melantunkan ayat-ayat alquran, lantaran saya sadar ada yang tidak selesai di belakangku.
Sekejap lantas, embusan itu telah tidak berasa kembali. Serta ransel yang saya bawa kembali seperti mula-mula. Belum saya memikir jenis-jenis kuarahkan lampu minyak yang saya membawa menjurus belakang untuk cari tahu sesuatu apa yang membuatku terasanya bawa berat beban....
Sepasang sinar kecil merah berpijar di antara pohon2. Tidak jauh dari tempatku berdiri. Sinar apakah yang dimaksud... itu... sekejap itu bukan sinar... itu sepasang mata... menjadi yang naik di tas ransel ku serta embusan itu...
Comments
Post a Comment