Perjalanan sekian jam yang menguras tenaga, jadi tidak berasa saat saya hingga sampai di pucuk Merapi. Panorama terelok terekspos riil di muka mata.
Sehabis berusaha susah payah bersama dua rekanku, Cindy serta Maya, pada akhirnya kami sukses pula lihat matahari tenggelam di pucuk gunung ini. Eidelweiss yang bermekaran meningkatkan cantiknya keadaan.
"Naina, sini!" Cindy panggil. Saya letakkan ransel di atas sebuah batu serta mendekatinya.
"Saksikan, ada suatu hal di sini." Dia nampak ambil suatu hal dari tanah sehabis lebih dahulu mengoreknya.
"Apa ini?" tanyaku sembari mengerutkan dahi.
Nampak logam keemasan persegi dengan ukir-pahatan aneh. Seperti jimat.
"Buang saja, Cin! Ngerinya kelak jadi kenapa-kenapa!" sergahku di Cindy.
Maya mengacaukankkan kepala mendukung saranku.
"Ah, ini barang sangat jarang. Saya dapat menyimpan," papar Cindy keras kepala. Dia seperti terpukau dengan kilau logam itu.
"Terserahlah. Saat ini kita mesti bersiap turun. Secepatnya gelap dapat menempa, serta kabut kian tebal. Kelak kita dapat salah jalan sebelumnya hingga sampai di tenda." Saya bergeser sembari memanggul kembali ransel serta membawa mereka untuk turun ke tenda.
Cahaya matahari telah tidak nampak kembali. Cuman nampak bayang badan kami serta senter jadi hanya satu sumber cahaya sekarang. Kabut kian menebal.
Saya jalan di depan, dituruti oleh Maya serta cindy berada di belakang. Lajur pendakian yang kami lintasi gak begitu susah. Lajur biasa yang dilalui oleh pendaki yang lain.
Tidak tahu kenapa, sekarang tiada grup yang lain mendaki. Pesan penjaga barusan, kami semestinya hingga sampai di tenda sebelumnya gelap. Tapi, lantaran barusan Cindy sempat sakit pada perut, sebabkan kami telat hingga sampai ke atas.
Nyaris hingga sampai di tenda, sehabis tiga puluh menit jalan turun. Kompas serta pertanda memberikan kami segera bisa istirahat gak lama kembali.
Mendadak kedengar nada ramai. Seperti pasar malam. Saya menyudahi cara serta menajamkan telinga.
Kusaksikan Maya serta Cindy pula mengerjakan hal sama."Apakah yang dimaksud?" bisikku dari mereka. Maya serta Cindy geleng-geleng sembari merapat ketakutan.
"Bukanlah semestinya di sini sepi ya, Na?" Maya berbisik.
"Yok, kita saksikan." Saya ambil langkah perlahan-lahan ketujuan sumber nada.
Dibalik pohon-pohonan serta semak ilalang, nampak keramaian. Beberapa orang memakai pakaian semacam pada masa kerajaan. Semacam pada alun-alun.
Satu orang memakai pakaian bak ratu duduk di singgasana di tengah keramaian itu. Barangkali ia pimpinan mereka.
"Azimat kebesaran bangsa kita, udah diambil dengan orang anak manusia yang serakah. Saat ini, ia mesti jadi tumbal atas keserakahannya serta kembalikan apa yang udah ia mengambil." Kedengar perkataan yang disongsong nada bising rendah tetamu di ujung sana.
Dengar perkataan wanita itu, tiba-tiba saya menyaksikan mengarah Cindy. Dia nampak sangatlah pucat dengan mata terbelalak. Cepat saya menggenggam tangannya serta mengambil kantongnya untuk cari logam yang dia mengambil barusan.
"Kalian bertiga, kesini dengan suka-rela atau kami tangkap paksakan!" Keras wanita itu memerintah. Tidak tahu bagaimana ia ketahui kalaupun kami ada di kitaran sini.
Tiada menghabiskan waktu, saya tarik tangan Cindy serta Maya yang dirasa sangatlah dingin. Meskipun hati kusut serta dada berdebar-debar, kami ambil langkah perlahan-lahan.
Nyatanya mereka gak seramai yang nampak. Cuman lebih kurang lima puluh orang hasil dari kalkulasi cepatku.
Nampak dua orang kepercayaan merapat. Mereka mengawasi kami ke arah singgasana.
Lebih kurang dua mtr. di muka ratu, orang kepercayaan menyudahi cara kami."Membawa wanita itu ke hadapanku," papar Si Ratu sembari menunjuk di Cindy. Orang kepercayaan yang berada pada sisi ratu, merapat serta menarik Cindy ketujuan singgasana.
Saya serta Maya tercenung memandang Cindy ambil langkah ketakutan.
"Kalian berdua, silakan meninggalkan tempat ini. Jangan sempat kembali kesini. Rekan kalian ini, ia udah berani ambil suatu hal yang bukan milik dia. Karenanya ia mesti menanggung kelakuannya!" Keras Si Ratu. Seluruh tercenung. Kedengar isak tangis Cindy.
Saya serta Maya berpandangan. Bagaimana juga, Cindy rekan kami. Tidak mungkin saya pulang cuman berdua dengan Maya saja.
Dengan semua usaha, saya berkemauan kuat untuk mengharap kemudahan.
"Maafkan kami, Ratu. Maafkan rekan saya. Ia tidak mengenal kalaupun itu terlarang. Ia simpan itu untuk cinderamata saja." Saya meminta. "Tolonglah Ratu, bebaskan kami. Dapat kami balikkan punya Ratu."
"Tidak dapat! Itu telah jadi peraturan di kerajaan ini. Barangsiapa ambil punya kami, karenanya ia dapat bayar dengan nyawanya!" keras Si Ratu sembari membelalakkan mata. Saya gentar memandang sorot tajam di mata itu.
Tangis Cindy kian keras. Dia menatapku meminta untuk menolongnya.
"Tolonglah, Ratu. Kami begitu ucapkan terima kasih kalau Ratu pengen melepas kami semua. Kami janji lebih berhati-hati kembali, Ratu," pintaku memelas. Meskipun dada berdebar-debar bagus, namun saya lagi coba bertransaksi dengan makhluk penunggu gunung ini.
Nyatanya betul info yang merebak di golongan pendaki. Jika, jangan sempat ambil apapun dari gunung ini, kalau mau selamat balik ke rumah.
'Ah, dasar Cindy. Bukanlah udah kuperingatkan ia barusan.'
"Tidak ada ampunan. Ia mesti jadi abdi di kerajaanku. Kalian berdua dapat saya bebaskan!"
"Orang kepercayaan, ikat wanita ini. Serta mereka berdua, kirim kembali ke arah tempat aslinya!" Si Ratu bertitah.Cindy nampak menangis serta meronta saat orang kepercayaan ratu mau mengikatnya. Saya serta Maya usaha lari mengarah Cindy serta beroleh tangannya.
Malang, orang kepercayaan di kanan serta kiri yang sejak dari barusan diam, tangkap serta menyingkirkan kami dari Cindy.
Dengan sekali sentak, saya mendadak terhuyung serta lenyap kesadaran.
***
Recikan air di paras bangunkanku. 'Mimpi yang paling aneh.'
Mendadak saya tersadarkan. Nampak bapak penjaga gunung di depanku menggenggam sebotol air.
"Mengapa tidur di sini, nak?" bertanya sang bapak. Ah, saya ingat, namanya Pak Umar.
"Ha, bukanlah kami berada pada tenda, Pak? Mimpi saya aneh sekali semalam," jawabku.
"Di tenda bagaimana? Anak tidur di muka pos jaga. Serta ini, mengapa sekedar berdua? Bukanlah tempo hari kalian naik bertiga?" mimik mukanya bertanya-tanya.
Kesadaran yang sebetulnya mencekalku. Bukanlah semalam saya masih di atas gunung? Bagaimana dapat sudah tiba di pos serta tertidur di sini?
Berdua ujarnya? Saya menyaksikan ke sisi. Nampak Maya tertidur nyenyak. Tiada jawab pertanyaan Pak Umar, saya guncangkan badan Maya.
"May, bangun. Bangun, May!" seruku was-was.
Saya menyaksikan berkeliling-keliling. Cuman ada saya, Maya serta Pak Umar. 'Cindy ada di mana? Apakah yang dimaksud bukan mimpi?'
"Uughh... " Maya perlahan-lahan buka mata. Pak Umar masih memandang kami berdua dengan penglihatan bertanya-tanya.
"Kita di mana, Na? Mengapa bukannya di tenda?" Maya ajukan pertanyaan sembari bangun duduk.
"Kita berada pada pos menjaga, May. Serta Cindy tidak ada, May!" jawabku lemas.
"Apa? Ke mana Cindy, Na? Saya baru saja mimpi aneh, Na!" Serunya.
"Itu bukan mimpi, May. Kayaknya itu riil. Tersebut mengapa Cindy tiada bersama kita." Saya bersuara bersusah-hati. Maya membelalakkan mata, menatapku gak yakin.
"Beritahukan di bapak. Apa yang terjadi, nak?" Kedengar nada Pak Umar.
Sembari menghela napas serta membatasi tangis, saya bercerita apa yang terjadi di beliau.
"Gak sempat ada yang kembali selamat di atas sana, nak. Kalau mereka coba ambil apa sebagai punya kerajaan lelembut itu," papar Pak Umar. "Maafkan bapak yang lupa mengingatkan kalian perihal masalah ini."
"Saya udah mencegah, Pak. Namun, tidak tahu mengapa ia seperti gak dengar perkataan saya." Saya menangis tersedu. Kehilangan Cindy serta ketetapan jika kami tidak akan berbicara kembali, bikin pertahananku jatuh.
"Saat ini, kalian istirahat saja. Sehabis tenaga kalian sembuh, pulanglah. Supaya bapak serta club SAR yang cari rekan kalian."
***
Beberapa hari berakhir. Saya serta Maya menunjuk tunggu dalam rumah satu diantaranya warga. Orangtua kami udah banyak yang datang. Masuk minggu ke-2 , jasad Cindy ditemui telah tidak bernyawa. Tiada keajaiban di jasad yang telah mulai membusuk itu.
Sehabis dikebumikan secara wajar, saya serta Maya pulang ke rumah semasing.
Nyaris malam saya serta orang tuaku masuk rumah. Rasanya lemas sekali. Perasaan sedih, keresahan, serta kepenatan yang paling, membuatku cepat tertidur.
Saya memandang Cindy di situ. Dia menatapku dengan sorot mata yang mengiba.
"Tolong saya, Naina. Tolong saya. Saya jadi budak Si Ratu di sini. Tolong saya!"
Comments
Post a Comment