Senja udah sah jadi malam. Jam 18:00 WIB sehabis sholat Maghrib, Anton tengah menanti satu orang dalam sebuah warung kopi di dekat jalan Majapahit, kota Mojokerto. Bertepatan ketika itu dia tengah liburan kerja dan mau berbicara teman lama waktunya yang berada pada kota itu. Selang beberapa waktu nada gaduh sebuah motor kedengar dari halaman parkir warung itu. Anton melambai-lambaikan tangan terhadap pengendara motor itu.
"Sori lama. Barusan masihlah ada rintangan di jalan. Saya habis nabrak orang." Papar pria itu.
"Innalillahi. Lagi, kamu tak apapun?" Bertanya Anton di pria itu yang udah duduk di muka mejanya.
"Ya tak apapun sich. Sekedar orang yang saya tubruk lecet kaki sama tangannya. Untung saja tak ada polisi, orangnya pula pengen di kerjakan secara damai."
"Alhamdulillah, sukurlah bila begitu." Balas Anton lega.
"Sukur apanya. Saya bayar tiga ratus ribu buat tuch orang." Dongkol pria itu sekalian memegang kepala.
"Loh, kok banyak? Benar-benar kronis?"
Pria itu mengatakan panjang lebar alur peristiwanya. Korban yang di tubruk mengharap pertanggung jawaban, kalau mau merampungkan secara kekerabatan harus bayar besaran demikian. Sebelumnya sang korban mengharap uang sejumlah 500 ribu, tapi pria itu cuman punyai uang 300 ribu terakhir kalinya di dompet. Mau tidak mau dia cuman dapat berikan sambil memasrahkan uang terakhir kalinya untuk tetap bertahan hingga sampai bulan akhir menanti terima bayaran. Lebih bagus damai ketimbang soal polisi tangkisnya.
Anton yang memandang temannya dongkol itu berusaha untuk melipurnya. Tapi pembicaraan buat pembicaraan mereka berasa cemplang lantaran pria itu tak juga tersenyum. Tidak kadangkala dia memberikan ucapan kalimat yang tidak menyenangkan buat di dengar. Kian lama Anton lantas geram memandang tingkah laku dan perkataannya. Banyak juga sorot pandang dari pengunjung lain perhatikan mereka berdua.
Tetiba itu Anton ingat suatu hal kalau temannya ini dahulunya sukai mendaki gunung serupa dengannya. Meski pria itu udah vakum mendaki sepanjang 1 tahun yang lalu. Apa kelirunya buat membawanya ke pucuk kembali biar makin tenang fikirannya lupakan momen yang udah mengenainya.
***
"Ren." Papar Anton.
"…." Pria tersebut masih diam tidak mengacuhkan.
"Ren… Rendi. Mendaki malam hari berani gak?" Tantang Anton.
"Di mana?"
"Sini saja, yang deket-deket. Di Penanggungan mungkin. " Tawar Anton.
"Kapan?"
"Sekaranglah."
"…." Rendi cuman tercenung lama. Lantas dia berakhir menjawab. "Kamu ini, sudah saya tertiban soal, jadi ngajak muncak. Tak ada uang saya."
"Malahan itu yang asyik. Supaya pikiranmu tenang di atas pucuk. Masalah uang tak butuh dipikir. Seperti pengen ke mall saja dibutuhkan banyak uang."
"Tak lah." Tandas pria itu.
"Ayolah, supaya keadaan hatimu sedikit terhibur. Tak sampai hati saya review kamu yang seperti begini. Ketimbang dalam rumah jadi pening." Bujuk Anton.
Sehabis lama diperhitungkan, pada akhirnya Rendi mengaminkan halangan Anton. Lantaran pendakian yang termasuk kejut, mereka cuman bawa alat seadanya saja. Apalagi gunung Penanggungan pula telah jadi tempat pendakian mereka buat beberapa kalianya . Sehingga, mereka udah ingat benar medan yang bisa mereka lewati. Lantas masalah pendakian, mereka udah memiliki pengalaman. Tapi, malam hari merupakan pertama kali ini mereka mendaki.
Jam 9 petang mereka siap buat pergi. Gunakan motor Suzuki Anton, mereka bedua langsung berangkat menjurus Trawas. Tapi setiba di wilayah Mojosari, ban motor mereka bocor di tengahnya jalan. Automatis mereka harus memandu motornya sambil cari tambal ban masih yang membuka. Dan balik lagi Rendi menggerundel lantaran perjalanan mereka terhalang. Anton berusaha untuk menentramkan biar tidak mencaci pengucapan joroknya. Tapi masih saja, dia masih tetap menggerundel dongkol.
Sehabis beberapa waktu menjalani jalanan, pada akhirnya ada tambal ban 10 mtr. di muka mereka. Tapi udah tutup, cuman ada compressor angin di muka rumah itu. Tiada menanti lama, mereka terus mengetok pintu rumah itu, mengharap penjaga tambal ban memberikan pintu rumah. Mujur sang pemilik rumah tetap terawat dan pengen membantu mereka berdua, meski awal kalinya banyak tawar-menawar lantaran mula-mula sang pemilik tambal ban malas menambal motornya.
Tiga puluh menit berakhir cepat. Motor bisa mereka kendarai kembali. Diperjalanan, Rendi masih tetap bergerak. Anton coba buka omongan, tapi cuman dijawab dengan ketus dan tatapan dongkol. Bukan orang Anton namanya kalau dia memandang kawan dekatnya emosi langsung putus harapan. Dia lagi coba buka obrolan-obrolan gampang. Dan pada akhirnya Rendi juga dapat luluh dari egonya, dia telah mulai dapat tersenyum kembali. Anton mengetahui sikap Rendi sewaktu dongkol, cuman diam dan memohon jadi perhatian seperti orang gadis yang tengah mengambek dongkol.
Benar jam 22:30 WIB mereka sudah tiba di dekat perempatan balai dusun Tamiajeng. Mereka ambil lajur Tamiajeng lantaran termasuk lajur umum pada waktu itu. Disitu mereka memercayakan motornya di satu diantaranya rumah penduduk yang namanya mak Sut. Lantaran bertepatan mak Sut ini pula punyai warung di muka balai dusun Tamiajeng, yang udah jadi berlangganan berulangkali saat mereka dapat mendaki gunung Penanggungan, disitu mereka udah dirasa seperti anak sendiri oleh mak Sut.
Mak Sut ajukan pertanyaan soal kehadiran mereka malam itu. Lantas mereka mengatakan kalau maksud mereka berdua merupakan mau mendaki larut malam. Saat itu mak Sut terkejut bukan kepalang dengar keterangan pada mereka berdua. Lantaran jarang sekali ada pendaki larut malam. Lantas rata-rata mereka saat mendaki pula waktu pagi hari, kalaupun tidak siang hari. Bukan larang, lebih benarnya pengucapan mak Sut ketika itu merupakan mengharap biar mereka menunda tujuannya dan menambahkan pendakian keesokan hari saja.
Tidak ada argumen terang dari wanita separuh baya itu, beliau cuman memperingatkan kalau memanglah kemauan mereka mendaki malam hari, lebih bagus besok saja. Lantaran jarak pandang dan lajur ketujuan pucuk malam hari lebih sukar ketimbang siang hari. Tapi Rendi mengenail pengucapan mak Sut. "Hallah mak, orang kita kerap mendaki di tempat ini saja kok. Manalagi Penanggungan, udah ingat sekali sama lajurnya." Ujarnya angkuh.
"Huss Ren, gak boleh angkuh demikian. Menjaga perkataanmu!" Kata Anton yang kayaknya dia mulai berasa dengan peringatan dari mak Sut.
"Bukan demikian nak, emak Sekedar waswas. Namun kalaupun selalu mau naik pula tak apapun. Selalu berdo'a saat di alas ya, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa. Monggo dihabiskan dahulu hidangannya" Sahut Mak Sut sambil menyilahkan sajian yang di berikan.
Sehabis sejumlah pembicaraan gampang dengan mak Sut, mereka berdua berakhir pamit buat selekasnya naik ke pucuk Penanggungan. Awal kalinya mereka diberi perbekalan oleh mak Sut, 4 mie instant dan 2 botol air mineral 1,5 ltr. Buat jaga-jaga kalau lapar di tengahnya alas gunung.
Saat di perjalanan, Anton mulai berasa tidak nikmat buat menambahkan perjalanan mereka. Juga soal aneh pertama-kali yang mereka temukan pada waktu jalan melintasi perkampungan dan dapat masuk alas gunung, mereka memandang beberapa orang tengah main kartu di pos kamling paling akhir sebelumnya masuk alas pegunungan. Bertepatan pula pos itu bertatapan dengan kuburan daerah disitu. Namun ketika itu Anton tidak sadar kalau di pos itu beberapa orang main kartu. Yang ketahui terang cuman Rendi.
***
"Nyuwun sewu." Papar Rendi minta izin sekalian membungkuk.
"…." Anton cuman tercenung keheranan. Karena barangkali melintasi kuburan, Rendi menunduk minta izin. Lantas Anton berakhir mengucapkan "Assalamu'alaikum."
Sehabis jarak lebih kurang 50 mtr. mereka jalan melintasi tempat itu, Rendi ajukan pertanyaan di Anton, "Kamu barusan mengapa mengucapkan salam?"
"Lah kamu pula mengapa omong minta izin?" Papar Anton menyela. "Bukanlah lantaran kita melalui kuburan barusan, jadi kamu omong minta izin? Saya ya turut mengucapkan salam-lah." Tambahnya.
Rendi menepuk jidat. "Lah mata kamu tak tonton apa, beberapa orang tengah main kartu remi di pos depan kuburan barusan? Iktikadku barusan minta izin buat beberapa orang di sana, bukannya di kuburan." Ujarnya.
"Matamu sendiri yang tak tonton, daritadi di pos ya tak ada orang." Terang Anton tidak terima.
Lantas Rendi menengok kebelakang. "loh jancuk, kok mendadak sepi ton? Lagi yang saya tonton barusan siapa?" Tuturnya lirih.
"Rend, gak boleh berkelakar Rend. Kita anyar hingga sampai sini loh ini."
"Sumpah ton, saya tak berkelakar. Barusan beberapa orang serasi saya sapa pula di ketawa semua. Lagi menegur kembali ke kita."
Anton memandang muka Rendi memanglah nampak sangatlah serius dan tegang. "udah-udah, sehabis ini menjaga pengucapan. Gak boleh sukai bicara asal-asalan." Papar Anton melerai perbincangan. Meski ketika itu bulu-bulu kuduknya pula tengah berdiri ketakutan.
Mereka lagi mengerjakan pendakian. Meskipun dengan perasaan takut dari diri Anton, dia malas membawanya kembali. Lantaran kalau itu berlangsung, karenanya nama baiknya jadi lelaki dapat tercoret bekerja keras di muka Rendi. Anton yang melawan, masak iya ia sendiri yang menunda?
Diperjalanan pendakian, tiada satu juga pendaki yang berpapasan sama mereka. Mana ada orang mendaki di tengahnya malam sebagai berikut? Rendi yang menyanyi diperjalanan berusaha untuk melipur dianya sendiri di tengahnya gelapnya track yang mereka lalui. Rupanya betul kata mak Sut, perjalanan malam hari dapat berasa lebih berat ketimbang siang hari. Penglihatan lantas cuman tertuju di cahaya headlamp yang mereka gunakan. Betul, berat sekali semacam apakah yang Anton rasakan sekarang. Tetiba geraknya terasa berat buat jalan. Macam ada yang dia gendong.
Meski sebenarnya, dalam isi carrier Anton cuman ada Sleeping bag, tenda, dan matras saja. Selebihnya tidak ada apa saja. Sedang buat 2 botol minum dan 4 mie instant berada pada carrier Rendi. Lantas Anton panggil Rendi yang udah nampak kian menjauh darinya ke atas.
"Rend... Rendii..." Pekik Anton.
"...." Rendi selalu tidak mengacuhkan. Dia selalu jalan dengan menyanyi nyaring.
"Rend!" Anton berusaha untuk berteriak sekencang-kencangnya. Tapi Rendi tidak dengar, perlahan-lahan nada nyanyian Rendi lenyap perlahan-lahan.
Sementara dari segi Rendi, dia merasai macam ada yang panggilnya dari belakang, tapi suaranya lembut. Dia celingukan di saat memandang kebelakang tidak ada Anton ada berada di belakangnya. Meski sebenarnya sejak dari barusan Rendi merasai kemunculan Anton cuman punya jarak sejumlah centi berada di belakangnya. Lantas dia memandang pancaran lampu kecil di bawah. Seperti kunang-kunang, dan juga seperti headlamp punya Anton. Dia berusaha untuk mendatanginya. Kian Rendi dekatinya, pancaran lampu itu kian jadi menurun kebawah. Sebentar jalannya berhenti, cahaya itu berputar-putar lantas stop, dan beberapa kali sesuai itu.
Rendi bertanya-tanya, dia berusaha untuk menegaskan kalau itu merupakan Anton. "Ton, ngapain kamu muter-muter di sana. Cepatan naik!" Pekiknya.
Tapi tiada jawaban. Cahaya itu cuman berpindah ke kiri dan kanan seperti memberikan isyarat gelengan kepala. Rendi yang dongkol memandang tingkah yang aneh itu, pada akhirnya turun kebawah dalam sekejap hampiri cahaya yang diduganya itu merupakan Anton. Saat jaraknya udah kian dekat, cahaya itu malahan terbang keatas keluarkan asap di atas kepala Rendi, lantas perlahan-lahan lenyap. Tapi tidak nampak pribadi apa yang dia tonton. Yang terang, dia tidak dapat bersuara apapun. Rendi tercenung seribu bahasa dan selanjutnya selekasnya kembali keatas. Sekejap dia memutarkan tubuh, badannya menghantam punggung satu orang.
*bruuk!!
"Jancuk!" Tiba-tiba pengucapan pertama kalinya tidak berencana terlemparkan dari mulut Rendi. "Kamu dari barusan ke mana saja sich? Kok mendadak di mukaku?" Lanjutnya bertanya-tanya.
Rupanya itu merupakan badan Anton. Dia pula menengok menjurus Rendi sembari bercakap, "Sekejap, bukanlah kamu barusan sudah di atas ya?" Balas Anton yang kegugupan. "Saya daritadi teriak panggil kamu namun kamu jadi kian jauh tak tampak." Anton lengkapi perkataannya.
"Saya barusan tonton cahaya di bawah. Saya mikirnya itu cahaya dari headlamp kamu, serasi saya merapat jadi terbang keatas. Ya saya takutlah, lagi pengen balik naik keatas. Rupanya kamu sudah di mukaku." Terang Rendi.
"Barusan saya pula berasa berat sekali di carrierku. Meski sebenarnya mulai sejak perjalanan barusan tak demikian berat." Anton pula mengatakan.
Belum usai perbincangan mereka, beberapa waktu lantas kedengar nada seperti orang wanita yang membisik. Tapi kedengar terang, sangatlah terang sekali. Hingga sampai Anton menepuk punggung Rendi.
"Rend, denger gak?"
"Saya barusan pula denger nada ini." Terang Rendi.
Mereka berdua sebentar tercenung. Tidak lama nada itu kembali. Tapi lebih terang, seolah sedang panggil satu orang. Suaranya seperti "Haaaaiiii." Terang sekali kedengar di ke-2 telinga mereka.
"Nyuwun sewu mbah. Putune namung bade melalui." Papar Anton gunakan bahasa Jawa lembut.
(Permisi mbah. Cucunya cuman mau lewat)
"Sudah ton, tak butuh takut." Sekalian menepuk bahu Anton. "Tetep lanjut, Bila kita takut jadi terdogma sendiri kelak. Kita di tempat ini tak kacaukan kan." Papar Rendi memperkuat hati Anton. Meski ketika itu pula Rendi tengah gemetaran ketakutan benar.
Comments
Post a Comment