Kenalkan, namaku Johan, saya biasa di panggil Jo. Bulan November merupakan bulan yang tidak pernah kulupakan.
"Jo, sabtu depan kita pengen mendaki gunung Arjuno, kamu pengen turut?" Nyinyiran temanku saat kita tengah asyik makan di kantin sekolah.
"Namun saya belum sempat mendaki" Jawabku menangkis Nico.
Nico merupakan rekan sekelasku, saya tahu ia udah mengelana buana keberbagai pucuk gunung, saya tahu itu lantaran ia senantiasa ceritakan perihal perjalanan yang membuatku takjub.
Tidak dibutuhkan waktu yang lama aku juga langsung menyepakati ajakan Nico.
"Kapan kembali saya dapat mendaki gunung kalaupun tidak saat ini" Ujarku dalam hati.
Pendakian gunung Arjuno dimonopoli oleh rekan sekelasku yang sebagian besar anyar mulai kiprah pertama kalinya. Tidak kecuali saya.
Saya tidak tahu ada di mana gunung Arjuno yang bisa saya daki. Yang saya tahu ada di belakang sekolahku ada dua gunung raksasa yang melambung tinggi. Dengan gagahnya gunung-gunung itu memandang seisi kota di atas sana. Dan, satu dari 2 gunung itu yang bisa kudaki besok lusa.
Pendakian pertama kaliku dapat dikatakan pendakian minimal mengasyikkan, saya merupakan orang yang peka dengan berbau dupa. Namun, ini kali saya mendaki gunung Arjuno lewat lajur agama yang ada di dalam Purwosari yang tersohor dengan lajur mistiknya.
Saat ada di dalam jalan hatiku tidak pasti, di antara takut dan gairah tengah beradu. Betul saja saat masuk kampung paling akhir saya mencucup bau dupa di sejauh jalan, banyak pura kecil dipelataran rumah penduduk. Dan perjalananku diawali disini.
Waktu empat lebih lima menit. Sehabis mengerjakan simaksi pendakian dan memarkirkan kendaraan, cara pertama kaliku udah disongsong dengan sepoi-sepoi angin yang di barengi dengan bau harum dupa. Kusaksikan kanan-kiri banyak bebatuan besar. Ada sekian banyak tangkai lidi kayaknya. Lidi itu punya warna merah dan keluarkan asap. Pastilah kau tahu itu kan.
Perjalanan yang selayaknya dapat dicapai sama waktu satu jam harus kita menempuh bertambah lama lantaran salah orang temanku meratap dengan bawaan yang dirasakan benar-benar sangatlah berat.
"Jo, sekejap jo. Kita istirahat dahulu" Panggil Nico di belakangku.
"Namun, kelak kita ketinggalan oleh kelompok lain. Co" jawabku singkat.
"Udah diamkan mereka jalan terlebih dulu, kita ada di belakang saja" Nico duduk langsung dan letakkan tas yang menurutku begitu besar itu.
Keadaan sangatlah sepi. Tidak sedikitpun saya dengar nada kendaraan, yang kudengar sekedar bunyi jangkrik yang sama-sama bersahutan. Kadangkala nada deru angin yang menghantam cemara-cemara besar di atas sana yang seolah-olah mau ajakku menyanyi.
Keadaan kian gelap. Saya dan Nico jadi kelompok terkahir yang hingga sampai di pos satu sore itu. Sejumlah rekanku udah mempersiapkan makan malam dan minuman hangat. Tunggu adzan magrib, kita sholat berjemaah secara berganti-gantian di goa Ontoboego.
Saat saya ambil air wudhu yang ada di dalam samping gazebo kecil saya harus turun kembali kebawah. saya dengar nada bencian yang menurutku aneh.
"Grrrrrrrr"
Saya terkaget, tapi saya selalu menambahkan wudhu sampai buat yang ke-2 kalinya saya dengar bencian itu kembali.
"Grrrrrrrrrrrrr"
Ini kali bencian itu lebih panjang serta lebih keras. Kusaksikan sekitarku tiada orangpun, saat kutengok belakang teman-temanku repot berhubungan, juga ada sejumlah yang sholat.
"Byur Byur Byur" Kedengar satu orang yang ada di dalam kamar mandi sisi.
Aku juga tunggu orang itu keluar, bisa saja ia merupakan temanku yang turut ambil air wudhu barusan. Tapi, sampai sejumlah lama apa yang saya nantikan tak juga keluar. Saya ambil senter di kantong sisi kanan, saya jalan perlahan-lahan ketujuan kamar mandi itu. Dengan menelan ludah, kubuka secara lambat pintu yang dibuat dari kayu lapuk itu, tapi tiada siapapun juga di.
"Kemungkinan kamar mandi sampingnya" Kataku dalam hati.
Kaki dan hati tidak singkron, di lain bidang hati ini mau memandang apa yang sudah ada pada. Namun kaki mau selekasnya balik ke kelompok. Keadaan tiba-tiba sepi, tidak kedengar nada angin atau hewan-hewan kecil. Yang didengar cuman kadangkala nada kaki yang ambil langkah.
"Kreeeeekk" Nada pintu tua itu makin membikin hatiku rusuh.
Tiada siapa saja di, kusaksikan air di bak penampunya pula tidak beriak. Selanjutnya apa yang kudengar barusan. Saya usaha memandang seisi kamar mandi, namun hasilnya kosong. Samar-samar saya mencucup bau busuk yang benar-benar menusuk, senter yang ada di dalam tangan kanan juga langsung ketujuan sumber berbau itu.
"Ya Tuhan, mudah-mudahan saya salah saksikan"
Pribadi kepala dengan muka yang benar-benar horor ada di dalam atasku, rambut panjang warna hitam itu sangat juga kusam. Matanya melotot dan menyeringai ke arahku. Saya tutup mata dan keluar dengan lambat. Saya ambil napas dan saya usaha jalan tinggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan namun nyata saya dapat kuasai situasi dan balik ke kelompok yang telah siap makan malam.
"Jo kamu mengapa, tidak turut makan?" Bertanya Tomi yang tidak lain merupakan rekan sekelasku.
"Ah iya, sekejap saya pengen sholat dahulu, sisakan saja sedikit nasi dan lauk itu" Sahutku datar.
Langsung kuambil arah kiblat. Pikiranku kembali tenang namun kadangkala telingaku dengar bisikan-bisikan lembut yang seolah-olah panggilku dari dalam goa. Saya tidak mengindahkan itu dan saya terus menambahkan sholatku.
Sehabis acara isoma, saya dan kelompok kembali menambahkan perjalanan ke pos dua yang dikenali dengan pos Tampuono. Tiada rintangan diperjalanan ketika itu. Tapi saat datang di pos dua penglihatan ini tidak terlepas dari jalan tangga yang ketujuan kesebuah tempat. Sendang Dewi Kunti.
Saat hatiku usaha buang beberapa pikiran jelek itu, saya jadi kian ingin tahu.
Co, ini ke sendang Dewi Kunti jauh nggak?" tanyaku terhadap Nico yang duduk disebelahku.
"Nggak begitu, ngapain malam-malam sebagai berikut ke sana" Lanjut Nico
"Saya ingin tahu" Imbuhku.
"Hati-hatilah, apa butuh kutemani?" Susulnya.
"Tidak butuh, saya cuman sekejap" Tandasku yang lantas jalan neninggalkan Nico.
Waktu memberikan angka sembilan kurang. Saya izin buat pergi sekejap. Udara disitu sangatlah dingin. Kunaiki anak tangga ketujuan tempat itu sampai saya hingga sampai di daerah yang menurutku sangat damai.
Entahlah, udara dalam tempat ini sangatlah lain, saya menarik tembakau yang udah saya racik dari rumah, embusan asap yang keluar mukutku meningkatkan kesan-kesan tenang malam itu.
Harum, harum sekali. Saya memandang lebih kurang tiada siapa saja. Saat saya kembali melihat mengarah depan saya memandang pribadi wanita yang benar-benar elok, rambut lempengnya terurai hingga sampai punggung, pakai pakaian ciri khas jawa (kemben) dan tiada alas kaki, saya beropini ia merupakan orang baik.
Ia tersenyum manis, membuatku turut menyongsong senyum itu saat menyaksikannya, tapi senyuman itu tidak berlalu lama.
"Woi Jo, ngapain di tempat ini, buruan balik, anak-anak pengen lanjut nih" Saya terkrjut saat mas Aji panggilku dari belakang.
"Ah iya mas, sekejap, pengen habisin rokok dahulu" jawabku ke mas Aji sekalian mengangkut tangan kananku buat memberikan sebatang rokok yang tinggal 1/2.
"Lenyap" Kataku dalam hati.
Wanita elok barusan telah tidak ada dari penglihatanku. Saya menanyakan siapakah ia. Apa ia pribadi Dewi Kunti. Ah rasa penasaranku lagi berputar-putar putar dalam kepala. Dan. Saya tidak dapat menjawab.
Dari pos Tampuono udara kian dingin, saya dan rekan-kawanku menambahkan perjalanan ketujuan pos tiga atau yang disebut Eyang Sakutrem.
Perjalanan tidak butuh waktu yang lama sampai saya sudah tiba di pos tiga. Sebuah bangunan kecil seperti shelter ini tidak seaneh sama yang saya sangka. Di tempat ini saya dan teman-temanku cuman ambil napas sekejap lantas menambahkan perjalanan ke pos empat atau pos Eyang Semar.
Di tengah-tengah perjalanan saya sedikit terkaget saat masuk sebuah rimba yang menurutku sangatlah aneh. Ya. Hawanya sangatlah hangat juga condong panas, tidak serupa dengan di pos satu dan dua, di tengah-tengah rimba ini saya terasa panas. Tapi saya selalu menambahkan perjalanan malam itu.
"Kalaupun istirahat di tempat ini gak boleh lama-kelamaan, harus mengambil napas sekejap lalu lanjut jalan" Kata mas Jacko bertindak sebagai leader di pendakian ini kali.
Saya cuman meng-iya kan saja perkataannya.
"Gerbang?" tanyaku dalam hati. Sekalian menengok mengarah Nico, yang lantas ia cuman membalasnya dengan anggukkan kepala.
Saya rasa ia tengah menyemangatiku.
Saat ini udara kian hangat, saya udah masuk ruangan rimba dengan vegetasi yang cukup lebat, jalanan tetap sedikit agak miring dan di sisi kanan ada bangunan tua punya warna biru dari kayu yang di kelilingi pagar bambu. Di muka pagar itu ada sebuah tulisan jawa yang saya sendiri juga tidak tahu maknanya.
Kaki lagi ambil langkah namun kepala lagi melihat ke kanan. Ada hati kurang nikmat saat saya memandang tempat itu. Namun saya tidak mengacuhkannya.
Di depanku ada Bagus namun ada yang aneh dengannya. Saya memandang ia sangatlah lambat saat jalan, sampai saya ada di belakangnya tepat. Namun yang saya saksikan merupakan pribadi nenek tua berpakaian compang-camping berada pada atas tasnya, nenek itu tersenyum sekalian memerlihatkan giginya yang merah berlumuran darah. Kuku-kuku tanganya hitam dan sangatlah panjang, baunya juga tidak enak. Nampak sangatlah menjijikan.
"Ya Tuhan. Apa ini" Keluhku dalam hati.
Saya kian memercepat cara dan membalap Bagus yang tengah duduk istirahat ditepi jalan.
"Gus, saya terlebih dulu ya" Sapaku pada bagus.
"Tergesa-gesa benar-benar Jo, sini lah kita bersama. Kelak pasti juga bertemu sama lainnya. Jawab bagus sekalian mengelap peluh yang ada di dalam mukanya.
"Iya Gus, kembali semangat ini, pingin nyusul kawan yang di muka, ini kembali di diklat sama Nico agar biasa jalan cepat ujarnya" Aku terus jalan tinggalkan Bagus yang didampingi Tomi, sementara Nico masih setia di belakangku mengikut sejumlah langkah kaki yang kian lama kian melamban.
Baca juga; Pendakian Gunung Arjuno-Welirang Edisi Ngerjain Dan Dikerjain Jin Gunung
Tanaman kecil dengan tinggi tidaklah sampai satu mtr. dan punyai tiga tangkai daun bergerak sangat kencang. Dua batangnya diam dan satu tangkai di tengahnyanya bergerak sendirinya. Saya lagi perhatikan tanaman itu dan saya menggenggamnya. Saat saya melepaskannya, tanaman itu kembali bergerak.
"Sudah tak perlu aneh-aneh, yok kita lanjut jalan" Nyinyiran Nico yang ajakku untuk tetap jalan.
Saya menambahkan perjalanan itu dan kembali di atas saya mendapati tanaman yang serupa. Tapi, ini kali ke-3 tangkai daun itu bergerak sangat kencang.
"Gak boleh saksikan kesamping manalagi kebelakang, Jo" Nyinyiran Nico sepontan.
"Ada apakah di belakangku" Aku terus stop ambil langkah.
"Udah turuti saja apa kataku, dan terus jalan" Imbuhya dan dia menyuruhku selalu untuk jalan.
"Namun kau tidak wafatkanku kan, Co" Tanyaku menegaskan.
"Saya selalu di belakangmu, tenang saja" Sahut Nico menenangkanku.
Saya lagi jalan tiada menengok kesamping manalagi belakang. Namun saya sangatlah ingin tahu sampai rasa penasaranku kalahkan semuanya. Saya menengok kebelakang dan saya terkaget dengan yang saya saksikan.
Pribadi pocong dengan kain putih yang udah mencoklat dan muka hitam itu ada di dalam hadapanku. satu diantaranya matanya keluar menjulur sampai bawah hidung, pipinya seperti lubang pasir dan banyak belatung di kitaran beberapa lubang itu. Tiba-tiba saja langsung tutup mata.
"Udah kubilang gak boleh menengok kebelakang" Kata Nico. "Saat ini bukalah matamu, ia telah tidak ada" Lanjut Nico.
Saya tutup mata rada lama, sampai saya berkemauan kuat buat membuka lagi mata. Dan, lenyap. Pocong itu lenyap.
Napasku sedikit tersengal lantaran memandang munculnya sejelas dan sedekat itu. Saya istirahatkan tubuh dengan udara yang agak aneh, saya tidak berani lama-kelamaan kayak apakah kata Mas Jacko, lantas saya menambahkan perjalanan sampai pos empat.
Pos empat atau pos Eyang Semar tiada keajaiban, jarum jam udah menujukkan angka sebelas kurang, dan saya kembali menambahkan sampai pos lima atau Mangkutoromo.
Dingin. Sehabis melintasi pos Eyang Semar, udara kembali dingin seperti awal mula.
Barusan saya hingga sampai di pos lima, saya memandang pribadi lelaki tua pakai pakaian serba hitam tengah diam diri di atas Candi Makutoromo. Tongkat panjang punya warna hitam yang ada di dalam sebelahnya berdiri dan bergerak sendirinya. Saya terperangah. Saya diam diri memandang keajaiban yang saya saksikan itu. Langsung Nico tarik tanganku dan selanjutnya kita cari tempat buat membangun tenda.
Bintang bergelantung dilangit-langit malam, lampu kota nampak kerlap kerlip di bawah sana. Dan seluruh kelompokku sudah tiba dan langsung istirahat, tidak kecuali empat wanita di kelompokku. Cuman tersisa Saya, Nico, dan Mas Aji. Sampai mengantuk ada selanjutnya kita semuanya pamit buat istirahat.
"Kyaaaaaaa" Kedengar nada jeritan dari dalam tenda.
Tiba-tiba saja saya dan sejumlah temanku langsung terjaga, tidak kecuali banyak pendaki yang lain tendanya ada di dalam lebih kurang kita.
Empat wanita tengah menangis dengan muka ketakutan. Isi tenda awut-awutan. Momen larut malam itu sukses bikin was-was seluruhnya pendaki. Sejumlah dari kami tergugah dari tidur buat mengawasi tersisa malam yang secepatnya berpindah pagi.
Nampak pundak dari Anjar, Dewi, Nikmah, dan Dian bergerak turun naik. Kayaknya mereka masih menangis lantaran ketakutan, Mbak Ika dan Mbak Mayang yang saya kenali tetangga sisi langsung menenagkan banyak wanita yang barusan menangis histeris.
Berdasar pengakuan Dewi. Saat dia tidak dapat tidur, dia terasa ada pribadi bayang-bayang yang mengitari tenda mereka, yang lantas entahlah darimanakah bayang-bayang hitam itu masuk di tenda dan bikin keempat wanita itu menangis histeris.
Memanglah saat saya anyar hingga sampai di pos lima saya rasakan sedikit keajaiban, lebih saat saya berpose di pintu masuk sore barusan, dalam sebuah gambar camera yang dipotret oleh temanku, telihat bayang-bayang hitam di langit-langit, namun kita cuman menerka kalau itu bertepatan saja.
Sampai pagi jemput, saya meniadakan skedul buat naik ke pucuk, situasi badan yang benar-benar penat terlebih saat saya menjumpai beberapa ketidakpasan tadi malam, cuman bisa mengantarkanku hingga sampai ke pos Jawadwipa saja atau pos tujuh, Saya tidak bisa menambahkan perjalanan, dan saya kembali kebawah dengan didampingi Mas Aji, sementara bekasnya naik.
Saat perjalanan turun ketidakpasan saat pagi hari kembali berlangsung. Saya khayalan. Saya khayalan lantaran histori asam lambungku kumat. Saya menunduk lemas dan aku terus pejamkan mata. Saya terasa ada pribadi wanita yang jalan hampiriku.
"Ada wanita jalan ke sini" Kataku. "Ia barusaja melwatiku, ia jalan ke atas" Saya bercakap dengan situasi badan yang benar-benar kurang kuat. Saya tidak dapat berdiri, hanya bergerak juga perutku terasa sakit.
"Jo, bangun Jo, kamu mengapa Jo, kamu bicara apa baru saja?" Mas Aji was-was.dan menggoyang-goyangkan badanku, sampai saya mendangakkan kepala.
"Perutku sakit Mas, saya istirahat sekejap ya" Ucapku lemas dan kembali tundukkan kepala.
"Bukan Jo, bukan itu, siapa wanita yang melintasimu barusan?" Bertanya Mas Aji.
"Hah. Memanglah, saya bercakap apa mas?" Saya masih tundukkan kepala.
"Biarlah, gak boleh kelamaan, naiklah ke punggungku dan mari kita balik ke tenda"
Saya cuman menyepakati kata Mas Aji, saya di gendong dan kita berdua lanjut turun. Saya tidak sadar, saat saya bangun saya udah ada di tenda, dan sejumlah temanku udah mengkerubungi saya.
"Kamu gapapa Jo? Bertanya Nico yang temaniku di tenda.
"Memang saya mengapa Co?" Saya kembali memberikan ucapan kata bertanya.
"Kata Mas Aji kamu semaput jo, udah ini makan dahulu"
Nico juga berikan makanan dan saya mengonsumsinya dengan lahap. Saya rasa Nico sangatlah waswas dengan kondisiku. Manalagi ini merupakan pendakian pertama kaliku.
"Maaf Jo, lantaran saya ajakmu ke gunung kamu jadi sebagai berikut" Celah Nico saat saya barusan merampungkan makan siangku.
Saya cuman diam tidak menggubris apa yang Nico bahas.
Comments
Post a Comment