Dering jam beker menampar kesadaran Alga. Laki laki punya rambut gondrong itu terkaget di atas tempat tidur. Matanya sapu sekitar, berulangkali, seolah sedang menegaskan suatu hal.sebuah hal.
"Sukurlah... sekedar mimpi."
Alga bangun dan jalan mencapai smartphonenya di atas meja belajar. Ada pesan masuk dari Yuan. Laki laki generasi Jepang yang sekalian kawan dekatnya mulai sejak kecil itu, memperingatkan satu kali lagi perihal ide mereka buat mendaki gunung malam nanti. Serius laki laki yang cerewet.
Alga termenung sebentar. Mendadak terlintas dapat mimpi jelek yang dirasakannya. Meskipun bukan pertamanya, entahlah kenapa hal demikian terasa akrab untuknya.
Lamunan Alga bubar bersamaan ketukan kamar kamar sewa.
Dilihatnya Sono tengah tersenyum sembari memandang Alga, tangannya memegang kantong plastik beraroma nasi uduk yang unik.
"Belum makan pagi, kan?"
Sono langsung ambil langkah demikian Alga buka pintu. Tidak perduli pemilik kamar mengizinkannya masuk atau mungkin tidak. Serius sesenang hati sendiri seperti biasanya.
"Tak...."
"Hmmm?"
"Mimpi jelek kembali?"
Buat dengar pertanyaan Sono, Alga tergesa-gesa dekap mulut laki laki gendut itu.
"Dapat tidak, sich, bercakap itu tak usah gunakan TOA?"
"Iya, iya. Maaf."
Sono cemberut sembari keluarkan dua kemas nasi dari dalam plastik baru saja dibawa. Mata Sono memandang sekitar kamar. Penglihatannya berhenti di ransel hitam besar yang tergolek di pojok kamar.
"Pengen mendaki kembali?"
"Hu um."
Alga membalasnya pendek. Mulutnya repot kunyah nasi uduk yang dibawa Sono.
"Tidak takut bisa mimpi aneh?"
Ini kali Alga hentikan rutinitas kunyah. Dipandanginya Sono yang tengah menatapnya.
"Son, mempunyai kompas?"
"Kompas? Untuk apa? Memang pengen masuk rimba?"
"Buat jaga-jaga. Entahlah mengapa kompas yang umum saya membawa mendadak lenyap."
Sono mengerutkan dahi. Seakan-akan rasakan suatu hal yang aneh dari perkataan Alga.
"Sepatu gunungku pula lenyap...."
"Hah? Kapan? Kok dapat?"
Alga melotot. Kerongkongannya terselak nasi yang tengah dimakannya.
Sehabis meneguk air mineral yang tinggal 1/2 botol, Alga memandang Sono, mengharap keterangan.
"Bagaimana ceritanya, Son?"
"Tidak tahu."
"Kok dapat lenyap?"
"Iya. Kali terakhir saya menggunakannya tahun yang kemarin waktu jalanan ke Dieng bersama kawan-kawan satu jalur. Seterusnya, seingatku sepatu itu kumasukkan ke kardus sisa mie instant, lalu kusimpan di almari. Entahlah kapan benarnya benda itu lenyap, beberapa terakhir ini saya baru mengerti jika kardus itu tidak ada."
Alga termenung. Pemikirannya kembali terlintas perihal mimpinya tadi malam. Meskipun buram, Alga sempat memandang orang dalam mimpi yang mendakwa dianya sendiri pembunuh. Orang itu pakai sepatu cokelat, sama sepertiseperti sepatu punya Sono yang dikisahkan lenyap.
"Kamu barusan dibutuhkan kompas, kan? Coba bertanya Wisnu. Ia nyata mempunyai."
Sehabis makan pagi, Alga ambil langkah ketujuan kamar Wisnu. Diketoknya lambat pintu yang disanggupi stiker bermotif anime One Piece itu.
"Ada apakah? "
Pemilik kamar keluar sembari menenteng notebook. Matanya masih terdiam memandang monitor, entahlah apa yang tengah dilakukan.
"Bisa saya masuk?"
Wisnu memandang Alga sembari membereskan kacamatanya. Dipandanginya Alga dari ujung kepala sampai kaki, berulang-kali, sebelumnya lantas mengacaukank lambat.
Alga terkejut waktu masuk kamar Wisnu. Mereka telah tinggal dalam rumah kamar sewa yang serupa sepanjang 2 tahun, dan ini pertama kali Alga masuk kamar Wisnu. Alga tidak mengira jika kamar laki laki dingin dan pendiam itu demikian teratur rapi dan disanggupi beberapa barang electronic yang tidak dipahaminya. Tapi, ada suatu benda yang bikin Alga terbelalak terkejut. Benda yang ditawan dalam kotak kaca di atas meja computer.Setahunya Alga, Wisnu ambil jalur Programmer Computer namun juga magang di satu diantaranya perusahaan computer. Lantas mengapa ada benda sesuai itu di kamar ini? Apa itu asli?
Alga cuma diam tiada berani ajukan pertanyaan.
Kecuali kurang cukup dekat, ke-2 nya jarang-jarang sekali berpapasan buat berbincang-bincang. Wisnu lebih puas tutup diri, sementara Alga jarang-jarang diam diri di kamar. Kalau punyai waktu senggang, Alga lebih senang menghabiskannya buat bertualang. Mendaki gunung, umpamanya.
"Kamu mempunyai kompas?"
Alga langsung ajukan pertanyaan to the poin, takut kemunculannya mengacau Wisnu.
"Kamu pengen mendaki kembali?"
"Iya."
"Kalaupun demikian, saya turut."
"Hah? Serius?"
"Apa parasku nampak tengah bergurau?"
"Namun, kami dapat pergi ini malam."
"Oke. Panggil saya bila sudah siap pergi."
"Oke... oke. Tapi, kompasnya, kamu mempunyai?"
"Saya dapat membawakannya bersamaku," jawab Wisnu dingin.
***
Angin malam menusuk-nusuk tulang. Alga, Yuan, Wisnu dan Sono bersama-sama rapatkan jaket mereka buat menangkal angin yang kian lama kian cepat. Angin musim kemarau di gunung Prau ini serius pakar mempetieskan tulang.
Alga jalan lambat sembari memandang ke-3 teman di depannya. Yuan pimpin barisan. Laki laki berkulit putih dengan sorot mata tajam itu yang pertamanya perkenalkan Alga dalam dunia pendakian. Alga masih ingat benar pengalaman mendakinya yang pertama. Waktu itu dianya sendiri hampir saja kehilangan kaki kiri lantaran jatuh terjebak di bibir jurang. Tapi, malahan pengalaman itu membuat kian menggemari kesibukan mendaki gunung.
Mendadak kedengar langkah kaki berat dari arah belakang. Alga langsung arahkan senter, cari tahu siapa yang tengah jalan di belakangngnya.
Wisnu yang bertepatan memandang Alga memutar tubuh tergesa-gesa tarik tangan Alga, memerintah melanjutkan cara.
"Itu bukan apapun," papar Wisnu lambat tapi penuh penekanan.
"Bagaimana kamu paham?"
"Diam! Gak boleh kepancing perihal-perihal aneh, atau kamu dapat...."
"Apa yang berlangsung?"
Yuan hentikan cara. Dipandanginya Wisnu dan Alga yang tengah berbincang-bincang lambat.
"Tidak ada. Mari lanjut."
Alga menjawab sembari mengepalkan tangannya ke udara.
Sembari ambil langkah, Alga sembunyi-sembunyi menyaksikan Wisnu yang jalan di depannya. Betul gossip yang tersebar, laki laki menggunakan kacamata ini aneh.
***
Cara keempatnya melamban saat menit ke enam puluh. Tiada argumen yang pasti, Sono yang jalan di belakang Yuan mendadak terempas ke tanah. Yuan yang telah jalan selangkah di muka kembali 1/2 lari. Sementara Alga telah berlutut, menyokong kepala Sono yang tidak sadar diri.
"Air! Ambilkan air," papar Alga dengan nada tercekat.
Wisnu yang berdiri ada di belakang Alga dengan bergas memberi suatu termos kecil.
"Ini panas, Nu!" papar Yuan dengan suara tinggi. Si ketua itu benar-benar telah berkeberatan sesaat mengetahui Wisnu dapat ikut pula. Mulai sejak awal mula kuliah, Yuan dan Wisnu tak pernah nampak dekat. Mereka berdua terus tidak serupa pikiran, mulai dengan soal remeh-temeh masalah teknik menggunakan bubur, sampai soal berat masalah kepercayaan.
"Gak boleh banyak bercakap! Itu tidak panas, namun hangat. Hawanya serasi. Kalian cuman perlu meminumkannya sedikit. Pakaiannya basah, kalian mesti menukarnya. Lantas selimuti ia," papar Wisnu keras.
"Namun...!"
"Melakukan saja, sialan! Gak boleh membuang waktu!"
Alga tersentak terkejut. Baru ini kali dianya sendiri memandang Wisnu semarah ini.
Dengan tangan gemetaran, Alga meminumkan air dari termos ke dalam mulut Sono yang nampak sangatlah pucat. Seterusnya dengan ditolong Yuan ke-2 nya mengubah pakaian Sono yang basah. Tidak berapakah lama, badan Sono yang mula-mula dingin lambat-laun jadi hangat.
"Naas! Ia jadi kabur!"
Alga mengangkut paras. Dilihatnya Wisnu tengah memandang tajam mengarah kompas yang digenggamnya. Paras Wisnu nampak tegang, seolah sedang membatasi dingin dan dongkol secara bertepatan.
"Temanmu itu serius edan, Tak," tutur Yuan lambat.
Alga memandang Wisnu yang ini kali tengah masukkan kembali kompasnya ke kantong.
"Ia hipotermia. Kayaknya lantaran laki laki bodoh ini ngotot mendaki dengan sandal di cuaca sedingin ini," papar Wisnu sembari memandang Sono.Yuan memandang Wisnu dengan penglihatan tidak senang. Napasnya mengincar, usaha membatasi kemurkaannya agar tidak membeludak-luap.
Mendadak dari arah kanan angin bertiup cepat. Sangatlah cepat sampai bisa bikin pohon besar di kitaran mereka melambai.
"Kita mesti pergi saat ini pula!" papar Wisnu keras.
"Hei! Di sini saya ketuanya . Sehingga saya yang bisa putuskan kapan perjalanan diawali," balas Yuan tak mau kalah.
"Cepat! Kita serius mesti pergi saat ini!"
"Tidak! Kita alan istirahat dahulu tunggu Sono sembuh!"
"Sialan!"
Wisnu berteriak sembari membujurkan ke-2 tangannya. Laki laki menggunakan kacamata itu berdiri membelakangi Alga dan Yuan masih yang berjongkok mengitari Sono.
"Arghhh!"
Wisnu menjerit terhenti, dituruti darah yang mulai menetes dari badannya.Alga dan Yuan melotot terkejut. Tidak yakin dengan yang barusan dilihatnya. Yuan yang bebas langsung dekati Wisnu.
"Hei! Apa yang berlangsung? Kau baik saja?"
Yuan ajukan pertanyaan sembari menepuk pundak Wisnu. Mata sipitnya saat itu juga terbelalak. Dilihatnya jaket Wisnu sobek dipenuhi dengan potongan.
"Ini...."
"Dasar ketua keras kepala!" rutuk Wisnu lambat. Laki laki itu pejamkan mata, usaha maksimal membatasi perih di dadanya.
"Hei! Berbaringlah!"
Yuan bercakap keras. Tangannya tangkas melipat jaket cadangan yang dibawa jadi bantalan kepala Wisnu. Seterusnya Yuan buka ranselnya, keluarkan kotak P3K serta mulai sebagai obat cidera di dada Wisnu.
"Sebetulnya... apa yang berlangsung?" bertanya Yuan lambat.
"Ada yang salah jalan, kita mesti menolongnya," papar Wisnu lirih.
"Apa? Bagaimana tekniknya?"
"Dengan kompas," balas Wisnu sembari memandang Yuan.
***
Ke-4 pemuda itu menetapkan untuk menambahkan perjalanan. Sono yang telah sadar, kembali fresh sehabis minum sejumlah air lemon hangat yang dibawa Yuan.
Tapi, perjalanan mereka sekarang bukanlah cuman menundukkan pucuk. Mereka jalan ikuti arah jarum kompas yang dibawa Wisnu.
"Kamu sangat percaya ini jalannya?" bertanya Yuan sehabis mereka jalan cukuplah lama.
"Ya!" jawab Wisnu singkat.
"Saya terus menganalisis wilayah yang kita lintasi dengan tebasan gampang, kamu paham? Kita telah berputar di sini sejumlah 4x," papar Yuan sembari memandang Wisnu mengharap keterangan.
"Namun kompas ini tak mungkin salah," bela Wisnu.
Mereka termenung sebentar. Mendadak Alga terlintas suatu hal.sebuah hal.
"Yu, dahulu kamu pernah omong, kan? Kalau tengah mendaki, alam kerap memalsukan," papar Alga sembari mengingat.
"Itu berarti... kita semestinya melintasi arah yang berbalik sama yang dipilih jarum kompas ini?"
Keempatnya sama sama lihat, lalu mengacaukank bertepatan.
Perjalanan dilanjut kembali. Ini kali mereka melintasi arah yang berbalik.
Di tengahnya perjalanan Alga mendadak jatuh. Laki laki itu terbelalak waktu mengenal benda apa yang membuat tersungkur ke tanah.
"Son! Tidakkah ini...?"
"Lo? Ini sepatuku yang lenyap? Mengapa berada pada sini?"
"Nyatanya itu anjurannya," papar Wisnu sembari lagi ambil langkah. Sementara Alga, Yuan dan Sono sama sama pandang, belum mengetahui benar apa yang sebetulnya berlangsung.
Mereka jalan memisah malam. Kadangkala stop sekejap, rapatkan jaket dan mengontrol napas, usaha menangkal dingin berlebihan yang mulai mempetieskan apa.
"Ini...."
Mendadak Wisnu hentikan jalannya. Matanya memandang tajam mengarah di depannya. Tidak terjadi apa-apa dari sana, namun Wisnu seolah sedang bertatapan dengan suatu hal.sebuah hal.
"Di sinikah tempatnya?" bertanya Wisnu entahlah di siapa.
Tidak lama mendadak angin berembus cepat, cukup cepat sampai menerbangkan daun-daun kering yang berantakan. Mereka terkaget waktu memandang suatu hal yang seakan-akan tampak dari dalam tanah sehabis serakan daun-daun itu berubah tempat.
"Nu, ini merupakan...."
Yuan bercakap dengan nada tercekat. Sementara Alga dan Sono cuma termenung tiada bisa mengucapkan kata. Ingatan mereka repot berbincang-bincang dengan kisah lalu semasing.
"Gak boleh salah jalan kembali, sialan! Kamu menakut-nakuti, sampai cederaiku," papar Wisnu lambat.
***
Matahari bercahaya hangat. Cahayanya perlahan menyelimutinya badan ke-4 laki laki yang sekarang berdiri di pucuk gunung Prau. Keempatnya berdiri menghadap timur, memandang hangat ke-5 gunung yang menegur mereka. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu. Juga kalau sebentar memandang mengarah barat, mereka juga dapat rasakan datangnya Gunung Slamet.
"Nu, terima kasih udah menolong membawa Sean," papar Yuan sembari merapat. Dia menjulurkan tangannya yang hangat. Ini kali Wisnu menyambutnya tiada pikir panjang.
Alga memandang ke-2 nya sembari lagi tersenyum. Pemikirannya sebentar kembali ke kisah lalu 1 tahun yang lalu waktu dianya sendiri mendaki gunung Prau bersama Yuan dan Sean. Sean lenyap waktu mereka diperjalanan kembali. Sejak mulai itu Alga kerap mimpi jelek. Mimpi yang sebetulnya dicetak oleh alam bawah sadarnya sendiri lantaran perasaan bersalah yang kelewatan.
Roh Sean yang salah jalan di gunung Prau lagi berputar, mengacau siapapun. Sebetulnya ia cuma bersuka-cita sembari tunggu kami kembali. Kembali buat mengantarkannya pulang. Ah! Karakter reseknya serius sama. Menjengkelkan sekali.
Lalu Alga memandang Sono yang berjongkok sembari memegang sepatunya . Sehingga sepatu itu lenyap waktu Sono mengerjakan pendakian bersama kawan jalurnya, ya? Sono yang payah dalam soal ingat serius tidak dapat dipercaya. Alga ketawa lambat sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak tawa Alga berhenti. Dia dekati Wisnu buat memberi kepuasan rasa ingin tahunya.
"Nu, jadi kompasmu itu...."
"Ini kompas perayap hantu, Tak," balas Wisnu rileks.
"Apa? Lantas... tengkorak dalam kotak kaca di kamarmu itu...."
"Saya mendapatinya di sana waktu mendaki gunung ini 1 tahun lalu, entahlah punya siapa," tangkisnya sembari terkekeh.
Alga dan Yuan sama sama pandang waktu memandang arah yang dipilih Wisnu.
Comments
Post a Comment