Kondisi di sini terang tidak sama. Dari siang hingga saat sore, saya betul-betul belum lihat ada satu orang. Sepi sekali walaupun sebenarnya sewaktu kami masuk gerbang masuk kampung, ada sejumlah masyarakat. Ke mana mereka?
Malam saat, kondisi sepi tambah menjadi-jadi. Rumah di sisi kanan benar-benar mempunyai penghuni, tampak dari lampu yang menyalak. Namun demikian, di mana penghuninya? Gak beda jauh dari rumah di sisi kiri. Dari sana gelap, cuma ada satu lampu yang menyalak, itu juga lampu jalan. Tidak demikian mencengangkan sesungguhnya, dikarenakan rumah itu kata Mas Wisnu kosong sudah lama.
Kemunculan kami di sini sesungguhnya adalah penduduk anyar. Saya serta Mas Wisnu mungkin bisa bertempat di sini dalam waktu yang lama. Kata ibu mertua, rumah ini yaitu warisan orang-tua. Kami diperintah menduduki. Mulanya Mas Wisnu menampik serta saya kurang demikian mengerti faktanya apa. Akan tetapi, selanjutnya ia pengin berpindah kesini.
Rumah ini memang tidaklah besar, namun paling tidak dapat untuk jadi tempat berlindung serta istirahat. Posisinya sangat sudut kampung, dekat sama rimba. Jarak antarrumah dapat di sebut lumayan jauh, barangkali sepuluh meteran, terkecuali dengan bangunan yang ada di sebelah kiri ini, jaraknya seputar lima mtr.. Lumayan dekat, namun kosong.
Nada bambu yang sama sama bergesekkan sebab tiupan angin membuatku sempat bergidik. Ya, di sebelah kiri dari rumah kosong itu, tumbuh pohon bambu cukuplah luas. Saya cuma mengharapkan, mudah-mudahan kedepannya dapat menyesuaikan dengan lingkungan anyar.
"Mas, marilah, makan," kataku di suami.
Kami menikah lima hari lalu, dapat di sebut masih pengantin anyar. Mas Wisnu bekerja selaku karyawan pabrik, ia mendapat cuti berlibur cuman 1 Minggu serta saat ini tinggal 2 hari kembali.
"Iya." Jawaban singkat yang Mas Wisnu katakan. Ia bergeser dari tempat duduk seusai mematikan rokok masih tinggal setengah.
Kami sama jalan ke dapur. Meja kecil dekat sama jendela itu, udah tersuguh sejumlah makanan. Di antara dapur serta ruangan makan sama sama terjalin, tidak sama dari rumahku yang punya tempat terpisah. Kami makan cuma berdua, berkawan dengan sepi walaupun kadangkala nada hewan malam serta keriut bambu kerapkali temani.
Mas Wisnu stop makan, lalu ia menatapku. "Din, maafkan mas, ya. Mas cuman dapat kasih hunian seperti berikut, sampai diberikan sama Ibu."
Ah, selanjutnya saya tahu mengapa Mas Wisnu makin banyak tercenung, nyatanya persoalan rumah. Saya tersenyum kepadanya, lalu mengulurkan tangan ke bahu suami, mengelusnya secara lembut.
"Gak pa-pa, Mas. Ini bagus juga, kok. Ibu betul, lebih bagus menduduki yang udah ada ketimbang kita sewa," jawabku, menentramkan dirinya sendiri.
Mas Wisnu barangkali memikir bila saya tak senang dengan rumah ini walaupun sebenarnya tidak begitu. Bila mencari rumah sewa, tiap-tiap bulan jelas mesti bayar, uang habis buat sewa rumah. Lebih bagus tinggal dalam rumah simple, uang lantas dapat dipakai buat kebutuhan lain atau dapat juga ditabung. Tak usah yang bernama memikir cost tiap-tiap bulan buat bayar sewa.
"Namun, mas masih terasa gak sedap sama kamu." Mas Wisnu masih tetap terasa bersalah.
"Gak mesti dipikir, Mas. Kelak pun akan biasa." Saya menjawab kembali, kembali menekankan Mas Wisnu
Waktu sepuluh malam, udara dingin tambah menyerang tulang. Saya yang dari sejak barusan di kamar, memutus datang ke dapur membikin teh. Mas Wisnu lagi tertidur, ia letih seusai mondar-mandir dari rumah orang-tua kesini, bawa barang memanfaatkan mobil pickup.
Nada bambu kembali kedengar, saya sungguh-sungguh mesti dibentuk biasa dengan nada itu. Keluar ruangan tidur yang terletak di muka tempat tamu, kaki mulai ambil langkah tuju dapur. Saya stop sewaktu merasa jendela terbuka. Jelas Mas Wisnu lupa menutupnya seusai melemparkan abu dari puntung rokok yang ada pada dalam asbak ke luar jendela. Layak demikian dingin.
Sebelumnya tutup jendela, saya luangkan memandang ke luar. Cocok dihadapan, berdiri suatu bangunan kosong. Dari sana gelap serta tampak mencekam. Saya kurang demikian mengerti mengapa rumah itu kosong, Mas Wisnu serta orang tuanya gak ceritakan apapun tentang tempat itu.
Penglihatan terkonsentrasi ke suatu titik. Di bawah hempasan lampu jalan, berdiri satu orang menghadap menuju rimba. Ia terbungkuk. Rambutnya tergulung serta saya mengira ia jelas wanita, lebih pasnya nenek-nenek.
Siapa ia? Mengapa malam-malam berdiri dari sana?
Mata masih memandang wanita berkebaya cokelat dengan badan sisi bawah tertutup oleh kain jarik. Apa nenek itu lagi tunggu satu orang? Namun demikian, jujur saja, saya mulai terasa ada yang aneh sama orang itu. Jangan-jangan ia salah satunya yang tinggal dalam rumah sisi?
Gak dikira, wanita itu menengok perlahan-lahan, seakan-akan tahu apabila lagi menjadi perhatian. Mataku membola, lalu lekas berubah pandang. Napasku tiba-tiba berat. Nenek itu menengok nyaris 180 derajat. Parasnya menghadap belakang, seperti burung hantu.
"Kamu lagi apa?"
Nada berada di belakang mengagetkanku. Saya terburu-buru menengok, nyatanya Mas Wisnu.
Astaghfirullah. Apa benar yang saya tonton?
"Mengapa? Parasmu seperti orang ketakutan," ujar Mas Wisnu sembari ambil langkah ke arahku.
Saya terburu-buru memegang Mas Wisnu. Sendi berasa demikian kurang kuat, apa yang baru-baru ini saya tonton sungguh-sungguh di luar akal-sehat.
"Mas, itu...." Saya menunjuk menuju jendela dengan tangan gemetaran.
Mas Wisnu lepaskan dekapanku, ia ambil langkah tuju jendela. Saya tidak berani kesana kembali, perasaan takut ini betul-betul belum pupus.
"Tak terjadi apa-apa," ujar Mas Wisnu, membuatku terkesiap.
"Ta-di, saya tonton ada nenek-nenek dari sana, berdiri di bawah lampu. Ia noleh, lehernya muter hingga ke belakang, Mas." Saya memperjelas insiden seram yang barusaja dihadapi sembari menangis.
Badan masih gemetaran serta lemas. Apa barangkali nenek-nenek itu udah raib? Mas Wisnu tutup jendela, lalu ambil langkah kesini.
"Udah-udah. Barangkali salah tonton barusan," tuturnya.
"Gak barangkali, Mas. Terang sekali ada orang dari sana. Tidak bisa hingga salah tonton." Saya masih menekankan Mas Wisnu.
Apa ia tak lihat apabila istrinya hingga seperti berikut? Buat sekejap, saya telah memulai sedikit tenang seusai sekian kali menarik napas serta menghembuskan dengan tempo cukup cepat. Namun demikian, bayangan nenek tersebut tetap terkadang terngiang, sampai membuatku sulit tertidur.
Saat waktu dua belas malam, saya udah letih, namun mata sulit terpejam. Sedangkan, Mas Wisnu udah ternyenyap di alam mimpi dari 1 jam lalu. Kamar ini remang-remang, membuatku kadangkala terasa ketakutan walaupun sebenarnya tiap-tiap hari sewaktu ingin tidur, kondisi jelas terus seperti berikut.
Saya merapat ke Mas Wisnu, nyaris bergesekan. Misal kata tak lihat nenek itu, kemungkinan kecil saya bakal jadi ini. Bukan pengalaman pertama sesungguhnya lihat sejumlah hal begitu, namun sewaktu lihat suatu yang mencekam, jelas ingatan jadi gak keruan.
Jam dua pagi saya kembali terjaga, seiring dengan ayam berkokok. Nada itu kedengar demikian dekat, seperti di belakang rumah walaupun sebenarnya setahuku di seputar sini tak ada kandang ayam. Apabila ada, kurang meyakini suaranya hingga demikian terang.
Mas Wisnu masih ternyenyap, perasaannya tak sampai hati apabila mesti membentukkannya cuma buat temaniku. Kokok ayam masih kedengar, sahut-sahutan kedua-duanya hingga terjadi seputar tiga menitan. Kokok stop, saat ini bertukar nada tokek, membuatku terkaget sebab suaranya kedengar mencekam, seperti orang lagi ketawa dengan tempo cepat.
Mata coba kembali terpejam, mengharapkan rasa mengangut akan tiba, aku juga dapat lekas terlalap. Hingga saat waktu tiga pagi, ke-2 mata masih senang terbangun. Apa sebab effect pertamanya kali tidur di sini, ya? Ini menganiaya.
Nada bambu saing bergesekkan lagi terdengar hingga mendadak bertukar jadi nada seperti bambu yang patah; lagi jatuh. Beberapa waktu setelah itu, bambu lantas jatuh. Debamannya demikian terang, membuatku gak dapat bergerak sekali, membuatku tercenung mendengarkannya.
"Mas...." Saya terpaksa sekali menghidupkan suami.
Kembali saya mulai terasa gak nyaman. Dimulai dengan kokok ayam, nada tokek, saat ini makin bertambah nada bambu yang jatuh. Perasaannya saya dibentuk menderita di ini malam. Mas Wisnu tak terjaga, ia cuma menggeliang, sampai mengganti status membelakangiku.
Saya coba tidur ketimbang mesti dengerin beberapa suara lebih mencekam kembali.
Comments
Post a Comment