"Aduh!" Bagas mengeluh sambil mengelus pelipis yang terserang lemparan batu kecil.
"Lu nimpuk gua, Jo?" bertanya Bagas.
"Elah, kaya kagak ada pekerjaan sekali, sich," jawab Jonathan.
"Trus siapakah yang nimpuk gua? Elu, Ka?" bertanya Bagas ingin tahu.
Raka cuman geleng-geleng. Lelaki punya rambut gondrong itu menunduk lalu mengikat tali sepatunya yang lepas.
"Setan kali," jawab Jonathan sekenanya.
"Menjaga mulut, Jo. Kita tengah sesat jalan di Rimba Ciremai yang tersohor mengerikan," tutur Raka.
"Au tuch! Jadi sajian setan penghuni rimba baru ketahui rasa, Lu!" omel Bagas.
Bagas tidak mengerti ucapannya bisa saja dapat datangkan malapetaka, dia lupa dapat pesan Kak Reno - ketua ekspedisi, saat briefing sebelumnya mendaki kalau jangan memberikan ucapan ujaran kasar, manalagi mengatakan makhluk-makhluk lembut yang bisa saja dapat terpanggil.
Jonathan tidak menangkis kembali perkataan beberapa kawannya. Dia lekas percepat jalannya, akan tetapi baru sejumlah mtr., lelaki berkulit putih itu menyudahi jalannya.
"Guys! Bukanlah saat mendaki Gunung Ciremai jangan sekedar bertiga ya?" bertanya Jonathan sehabis memutar badan tegapnya.
Raka, Bagas, dan Jonathan sama-sama pandang. Narasi itu benar-benar udah mereka dengar sebelumnya pergi mendaki.
"Ah, itu sekedar cerita. Sebenarnya kita baik saja. Yok kita lanjutin perjalanan kita. Secepatnya malam, kita harus hingga sampai ke pos secepat-cepatnya," tutur Raka.Raka kembali menambahkan perjalanan, tidak lama Bagas dan Jonathan membuntuti ada berada di belakangnya.
"Nanti! Stop," Teriak Bagas.
Jonathan dan Raka melihat secara bertepatan.
"Ayok, kita harus lekas susul kelompok. Ini telah mulai petang, Gas. Bisa jadi kita tidak dapat ketujuan pucuk," omel Jonathan.
Bagas udah tergolek di tanah, dia mengacung botol minuman kosong mengarah Raka dan Jonathan.
"Haus," tutur Bagas.
Raka melempar sebotol minuman yang tinggal sedikit.
"Gak boleh dihabisin," perintah Raka.
Bagas lekas minum seterusnya melempar botol itu mengarah Raka. Saat mau berdiri, sayup-sayup Bagas dengar nada orang wanita tengah menangis. Lelaki tambun itu peruncing pendengarannya.
"Jo!" panggil Bagas.
"Apa?"
"Lu, denger cewek nangis, kagak?"
"Tidak. Ngaco, Lu! Mana ada cewek di tengah-tengah rimba berikut. Yang ada kunti," jawab Jonathan asal.
Sehabis tersadarkan dengan ucapannya badan Jonathan meremang, dia juga lekas lari menuyusul Raka yang udah jauh di muka. Bagas juga lekas susul ke-2 temannya.
Cara mereka terseok lantaran kecapekan, perut mereka kembali meronta mengharap diisi, sedang malam kian terlarut. Dinginnya udara malam menyerang hingga sampai ketulang-tulang mereka. Raka mengeratkan jaketnya, pendengarannya tangkap nada aneh. Raka menyudahi jalannya, Bagas dan Jonathan juga ikut membuntuti ada berada di belakangnya.
"Hepen?" bisik Jonathan.
Ke-3 pemuda itu mengedarkan penglihatan, telusuri situasi di kitaran mereka dengan bekal senter dan cahaya bulan purnama. Sekelebat bayang-bayang hitam ketangkap oleh netra ke tiga pemuda itu. Bagas lekas rapatkan badan tambunnya ke Jonathan.
"Apaan sich?" bisik Jonathan.
"Elu review kagak barusan ada bayang-bayang hitam getho?" bertanya Bagas ketakutan.
"Iya!" jawab Jonathan.
"Gua takut, Jo,"
"Gua pula takut, Bego!"
Gedebuk!
Bagas dan Jonathan melihat ke sumber nada, mereka terkaget memandang Raka jatuh dengan status celentang. Bagas dan Jonathan lekas lari mengarah Raka.
"Lu, mengapa dapat jatuh, sich, Ka?" bertanya Jonathan sambil menolong Raka berdiri, Bagas juga ikut serta menolong.
"Awas!" teriak Raka.
Tapi apes, Bagas udah lebih dahulu jatuh terpelanting mengenai pohon besar tidak jauh pada mereka.Mata Raka membelalak memandang munculnya di depannya. Satu orang dengan badan tinggi, hitam legam, memperlihatkan gigi taring yang tajam, dengan mata merah berdiri tidak jauh dari tempat Bagas jatuh. Jonathan menyorot orang itu dengan senter pada tangannya. Lelaki tinggi besar itu tersenyum menyeringai.
"Si-siapa kamu?" bertanya Jonathan ketakutan.
"Ha... Ha... Ha..." Lelaki tinggi besar itu cuman ketawa.
"Aaaa!" Bagas berteriak sehabis badan tambunnya diinjak lelaki raksasa itu.
"Bebaskan, ia!" teriak Raka.
"Gak boleh ingin, anak muda! Ha... Ha.. ha..." Lelaki raksasa itu kembali ketawa.
Sekarang, tangan kekar raksasa itu mencapai badan tambun Bagas, dan mengangkutnya tinggi-tinggi. Bagas cuman termenung pasrah, dia sudah penat dan kesakitan gara-gara sepakan yang dia terima. Telah tidak ada kembali tenaga yang tertinggal. Raka dan Jonathan udah siap-siap menentang raksasa itu dengan beberapa sisa tenaga yang mereka mempunyai. Mereka lari bersama mengarah Bagas dan raksasa itu
"Bebaskan, pemuda itu," teriak satu orang berada di belakang Raka dan Bagas.
Memandang raut paras raksasa yang tiba-tiba ketakutan, Raka juga melihat ke sumber nada barusan. Orang wanita elok pakai busana putih tersenyum ke arahnya.
"Bebaskan!" perintah wanita itu.
Sebelumnya bergeser pergi, raksasa itu melemparkan badan tambun Bagas mengarah Raka dan Jonathan. Raka dan Jonathan jatuh tertiban badan besar Bagas. Jonathan mengeluh, lalu memajukan badan Bagas kesamping. Sehabis sukses Jonathan dan Raka memandang situasi Bagas. Darah keluar pojok bibir Bagas, mukanya nampak pucat, dan peluh banjiri paras chubbynya.
"Cederanya cukup kronis, silahkan kita obati di rumahku," tutur gadis elok berada di belakang ke-3 lelaki itu.
Raka dan Jonathan melihat, sedang Bagas cuman dapat meringis membatasi terasa sakit yang merambat di seluruhnya badannya. Raka dan Bagas memapah Bagas ikuti gadis berparas ayu itu.
Tidak lama, dari terlalu jauh nampak kemerlip lampu, paras ke-3 pemuda itu nampak ceria.
"Pada akhirnya kita hingga sampai pos pula?" gumam Bagas.
"Betewe, Kak Reno kayaknya omong kalaupun pos sesudah itu itu sekedar gardu kecil bukan permukiman sesuai itu," tutur Jonathan.
"Bodo benar-benar, permukiman ini lebih bagus ketimbang gardu kecil seperti perkataan Reno. Dan yang benar kita dapat makan dengan wajar," tutur Bagas.
*****
"Silahkan di makan, agar Bagas diobati oleh rekan saya," tutur Ayu, gadis yang udah melindungi ke-3 pemuda itu dari raksasa di rimba barusan.
"Terima kasih, Ayu," tutur Jonathan.
Mata lelaki bermata sipit itu lagi memandang muka elok Ayu. Ayu membalasnya tatapan Jonathan dengan tersipu. Sedang Raka tengah asyik memandang panorama di luar gubuk itu lewat sela jendela.
"Kayaknya ada yang aneh di permukiman ini," batin Raka.
"Bisa saya, keluar sekejap," bertanya Raka di Ayu yang sedang ketawa kecil dengar gombalan recehan Jonathan.
Ayu memandang paras Raka, lalu mengacaukank. Raka lekas bergeser dari duduknya, lalu pergi tinggalkan Ayu dan Jonathan di area tamu.
Raka menyisir ke seluruhnya permukiman. Meskipun malam udah terlarut akan tetapi permukiman tersebut masih saja ramai, hilir mudik orang ada silih berpindah.
"Mengapa dari barusan saya tidak memandang satu juga lelaki di sini?" batin Raka.
Raka juga memiliki ide untuk bertanya jalan yang penting dilintasi untuk menggapai pucuk Gunung Ciremai terhadap salah orang masyarakat. Tapi saat mau ajukan pertanyaan, tiap-tiap wanita yang dia mendekati malahan menjauh darinya. Pada akhirnya Raka juga bermaksud untuk ajukan pertanyaan di Ayu.
Saat mau balik ke gubuk Ayu, Raka memandang ada yang aneh di satu diantaranya gubuk yang terletak tepat berada di belakang gubuk punya Ayu. Tiada sadar, sekarang Raka udah berdiri dari sisi gubuk itu. Kupingnya ditempelkan pada dinding yang dibikin dari papan.
Sayup-sayup lelaki gondrong itu dengar nada rintihan yang paling dia ketahui.
"Bagas!" teriak Raka dalam hati.
Raka juga cari sela untuk memandang situasi di gubuk. Sehabis mendapati apa yang ia mencari, Raka lekas melihat.
Raka membungkam mulutnya sendiri agar suaranya tak terdengar keluar. Peluh langsung banjiri mukanya sehabis dia memandang apa yang sudah ada di gubuk. Raka lekas tinggalkan tempat itu.
Tidak dibutuhkan waktu yang lama, Raka udah kembali di gubuk Ayu. Tapi dia tidak mendapati Jonathan di situ.
"Jo! Jo!" teriak Raka sambil buka seluruh pintu yang berada pada gubuk Ayu.
"Apes!" umpat Raka.
Raka kembali keluar.
Braak!
Dengan sekali gebrak pintu itu lebar terbuka. Raka kaget memandang situasi di gubuk itu. Ke-2 temannya terpasung dengan badan tiada satu helai benang juga. Paras dan badan mereka berlumur darah. Raka sedikit menciut, akan tetapi memandang ke-2 temannya itu telah tidak punya daya bikin Raka benci.
Dia mengambil langkah masuk dengan tergesa, akan tetapi sebelumnya Raka hingga sampai dalam tempat di mana beberapa kawannya ada suatu tali mendadak mengikat ke-2 tangannya. Raka menggeram emosi.
"Bebaskan mereka, brengsek!" teriak Raka sambil usaha membebaskan ikatannya.
"Tidak sesederhana itu, anak muda. Kalian sendiri yang ada padaku," tutur Ayu sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Ayu bangun dari duduknya, lalu jalan dekati Raka. Dielusnya paras ganteng Raka.
"Sehabis kamu tuntas memberi kepuasanku, nasibmu pula bakal jadi teman-temanmu itu," tutur Ayu.
"Bersiap-siaplah, sayang," bisik Ayu di dalam telinga Raka.
Raka lekas menyingkirkan mukanya. Tapi cengkaman Ayu di paras Raka semakin makin kuat. Kuku tajam Ayu menggores kulit paras Raka sampai berdarah. Napas Ayu mengincar, memandang liar di Raka. Tapi saat bibir Ayu mau sapu bibir Raka, lelaki itu meludahi paras elok Ayu. Ayu pejamkan matanya membatasi kemurkaan.
"Brengsek!"
Karies!
Suatu pukulan tiba di pipi kiri Raka. Raka tersenyum.
"Kamu tidak segera bisa terlepas dariku, Sayang," tutur Ayu.
Ayu melukis kulit paras Raka dengan sebilah pisau pada tangannya. Raka meringis membatasi perih. Saat Ayu tengah asyik cederai paras ganteng Raka, lelaki gondrong itu juga usaha lepaskan ikatanya.
Sehabis sukses, Raka lekas memajukan badan kecil Ayu sampai mengenai dipan tempat Bagas dan Jonathan di pasung.
"Kau pengen main-main denganku ternyata, anak muda," tutur Ayu benci.
Dengan badan kecilnya, Ayu mengangkut dipan itu dan dengan sekali hentakan, dipan itu udah melayang-layang. Raka dapat mengelit lemparan dipan itu, akan tetapi nyawa Bagas tidak dapat ditolong kembali. Kepala Bagas mengenai batu besar dipojok tempat. Darah fresh keluar kepalanya, di sebelahnya badan Jonathan telah tidak bergerak, matanya membelalak. Raka merasai mual yang teramat memandang situasi beberapa kawannya.
Memandang amarah Ayu, Raka memutuskan buat larikan diri dari permukiman itu. Dengan tersisa tenaga Raka coba lari keluar gubuk itu.
"Kamu tidak akan dapat keluar sini, anak muda. Ha... Ha...." Teriak Ayu.
****
Raka menyudahi cara, napasnya mengincar, tenaga juga telah mulai habis, dimanapun dia lari, bakal kembali ke arah tempat itu-itu kembali. Raka mulai memikir.
"Nyata ada jalan keluarnya, namun di mana?" gumam Raka.
Raka mengedarkan penglihatannya, cari jalan untuk keluar permukiman ini. Raka menelusuri tiap-tiap gubuk yang berjejer yang rapi. Seluruh nampak sama cuman gubuk Ayu yang nampak tidak serupa.
"Apa, jangan-jangan gubuk Ayu itu jalan masuk keluar ke rimba Gunung Ciremai?" gumam Raka.
Raka lekas masuk gubuk punya Ayu. Ia menyisir tiap-tiap tempat dan matanya tangkap pintu kecil di almari tua yang nampak tidak serupa dari pintu yang lain. Raka juga lekas lari ke pintu itu, tapi sebelumnya hingga sampai ke pintu itu, Ayu menyudahi jalannya.
"Pengen ke mana, anak muda?" bertanya Ayu.
"Apes!" umpat Raka.
"Kamu tidak segera bisa keluar sini," cibir Ayu.
Ayu memendekkan jarak mereka, Raka termenung dengan netranya yang repot membaca kondisi. Bola mata Raka tangkap kilau sinar dari liontin yang Ayu gunakan. Sekarang, jarak mereka cuman sejengkal. Ayu mengelus sisa irisan yang dia catatkan di pipi lelaki itu.
"Kalau kau menurut, tidak dapat sesakit ini, anak muda," tutur Ayu sama bisikan.
Tangan kanan Ayu menghimpit tengkuk Raka, saat gadis itu pejamkan matanya. Raka lekas menarik liontin di leher gadis itu, lalu menyepak perut Ayu sampai terjatuh dan mengenai almari tua ada berada di belakangnya.
"Aarrgh!" Ayu mengeluh.
"Brengsek! Balikkan liontinku," perintah Ayu.
Raka tidak menghiraukan perintah Ayu, dia lekas lari mengarah pintu kecil itu, dengan tergesa Raka buka handle pintu sampai lebar terbuka, cahaya sinar menyongsong netra Raka. Raka juga mengambil langkah melalui pintu itu. Sehabis melalui pintu itu badan Raka seperti melayang-layang, ke-2 tangannya menangkal sinar yang masuk ke penglihatannya.
Brugh!
Raka jatuh ke tanah.
"Kakek, Kakek. Ada orang jatuh dari langit," tutur gadis kecil berponi di depannya.
Raka tersenyum sambil bersihkan busananya.
"Kakek,"
"Iya, Ra," sahut lelaki tua dari sisi Ara, gadis kecil berponi itu.
Lelaki tua itu menyipitkan matanya. Berulang-kali lelaki itu mengucek-ucek matanya, menegaskan kalau penglihatannya tidak salah.
"Raka."
"Kamu, Raka, kan?" bertanya lelaki tua itu.
Raka mengacaukank.
"Kamu, masih hidup? Ya Allah terima kasih," lelaki tua itu langsung memegang badan Raka.
Raka tediam, tidak membalasnya dekapan lelaki itu.
"Saya Reno, ketua ekspedisi pendakian di Gunung Ciremai, tiga puluh tahun lalu," tutur lelaki tua itu sehabis lepaskan dekapannya.
"Kak Reno? Tiga puluh tahun yang lalu? " bertanya Raka.
Reno mengacaukank.
"Kami dan Club penyelamat udah beberapa minggu telusuri rimba itu, namun tidak mendapati kalian. Di mana Bagas dan Jonathan?" bertanya Reno.
"Kakek tahu orang yang jatuh dari langit ini?" bertanya Ara.
Raka dan Reno sama-sama lihat. Mereka repot dengan pemikirannya semasing.
Comments
Post a Comment