Skip to main content

Perempuan Bersepatu Merah

 Sesudah senja, kau kelihatan anggun dengan sepatu hak tinggi yang membalut kaki belalangmu. Nada lantang sekian kali menggema tiap kali permukaan sepatu merahmu beradu dengan lantai halaman suatu katedral tua.

Lagi jari lentik yang tertutup sarung tangan hitam, kelihatan memegang kuat gagang payung yang sama dengan mantel yang kaukenakan, hitam.

Entahlah, saya gak memahami denganmu ini hari, Rose. Namun... ini hari kau kelihatan tidak sama, lebih-lebih dengan selembar kain putih yang saat ini kembali tutupi banyak tempurung kepalamu.

Lagi yang saya tahu, kau tidak pengin mengenakannya kembali selesai petaka senja itu.

Gerombongan burung gagak yang bertempat di atas ornament salib katedral itu, terlihat tengah gembira menyambutmu.

Dengan nada unik, berbarengan mereka berkoak. Sampai, kencangnya membikin telingaku sedikit terpekak.

Akan tetapi, kau kelihatan gak acuh. Kaki belalangmu masih ambil langkah anggun naiki anak-anak tangga tuju pintu kayu bangunan historis itu.

Kau sempat diam sementara, tundukkan penglihatan dalam-dalam sebelumnya lantas kau sungguh-sungguh masuk tempat beraroma lembap itu.

Barisan bangku lapuk, masih tertib rapi dari sana. Sejumlah puing atap yang termakan umur pun kelihatan bertumbangan waktu kau memutus untuk ambil langkah bertambah dalam.

Langkahmu makin berani tuju bangku spesial di mana Uskup Agung biasa menjalankan pekerjaannya. Saat ini, seusai setahun lebih sejak mulai katedral ini didiamkan telantar.

Buat kali pertamanya, kau membulatkan niat menjejakkan kakimu kembali.

Gemuruh angin yang berembus cepat menelusup masuk serta sukses menerbangkan selembar kain putih yang dari sejak barusan tutupi kepalamu.

Sampai, gerai panjang rambut cokelatmu kelihatan berkibar, tiap kali gemuruh angin menerjang diri kamu makin cepat.

Sementara kau tercenung, waktu api dalam pemantikmu mati sekian kali.

Satu, dua, kau coba menghidupkannya kembali. Akan tetapi, tidak sukses. Sampai, yang kelihatan cuma legam serta kusam.

Namun, kesempatan ini terlihat semesta tengah berdamai pada kamu. Pias purnama yang menelusup masuk lewat rongga atap yang bobol, bak penerang kehidupan untukmu.

Maka, mata birumu bisa secara gampang menelanjangi seisi bangunan tua itu.

Sebatang sigaret yang disimpan rapi di kantong mantelmu, perlahan-lahan kau bakar serta kausesap lalu mengempaskan asapnya dengan demikian tenang. Kepulan asap kelihatan menjulang, sebelumnya lantas membaur dengan udara malam itu.

Satu satu batang-batang sigaret yang disimpan itu kau habiskan dalam sesaat. Terlihat, kau pengin sedikit menentramkan hatimu masih mengecamuk.

Hingga di tangkai paling akhir yang sukses kausesap, kau menghela napas, mengendalikan sesak yang makin mencengkam hatimu yang kurang kuat. Dikarenakan, sebenarnya berapa saja tangkai yang kau habiskan, gak dapat banyak menolong dalam meniadakan tiap-tiap cidera menganga yang makin hari menganiaya diri kamu.

Kau yang demikian polos, yakin demikian saja di omong kosong pemabuk yang ketika itu kau dapati berada di belakang pertokoan pojok kota. Tuturnya, sigaret, minuman terkandung alkohol, butir dan serbuk terlarang itu dapat membawamu ke surga, walaupun cuma sesaat.

Dari banyak terdapat pilihan yang dia menawarkan, cuman 1 yang kau coba ialah sigaret. Kau gak pengin ambil banyak efek. Sampai, kau memutuskan tangkai beraroma tembakau itu buat temani diri kamu yang tak juga keluar beban trauma yang makin meraja.

Nikotin benar-benar bikin kamu tenang, namun, sayang kau pun lupa tar yang tanpa henti kau hisap bakal menumpuk dalam gelembung pernafasanmu. Sampai, menyebabkan penyakit yang bertambah hari bertambah menggerogoti 1/2 nyawamu.

Ya, untukku kau kelihatan bak mumi hidup.

Hidup tanpa ada hasrat yaitu perihal yang tidak kau ingini. Sampai, itu jadi mimpi paling buruk dalam hidupmu.

Semalam kau mengembara dari 1 tempat ke arah tempat lain, selaku penjual.

Hidup di dunia fana ini, rasanya tidak bermakna kembali untukmu. Akan tetapi, kau pun sangat pengecut buat menyudahinya demikian saja, yang dapat kau melakukan cuma melukai diri kamu secara perlahan-lahan. Berikut ini faktanya kenapa kau memutuskan tangkai rokok selaku kawan setiamu. Kau masih pengin lihat berapa kejamnya dunia memberlakukanmu.

Kau tersenyum kecut, waktu manik matamu menelanjangi tangkai paling akhir yang saat ini kaukuliti secara perlahan-lahan.

Kembali kau yang polos cuma menurut demikian saja. Kau terus ingat kata pemabuk itu. Tuturnya, kau bakal mendapatkan selembar kertas kecil di gulungan rokok paling akhir dalam bingkisan persegi. Pungkasnya, selembar kertas kosong itu yaitu tempat buatmu memberikan pesan di Tuhan. Walaupun, sebenarnya itu cuma omong kosong semata.

Parasmu makin letoi, badanmu kelihatan bergetar waktu helaian itu gak kautemukan. Kau tahu? Pemabuk itu cuma memainkanmu, Rose.

Namun, kau masih bertahan. Tiap-tiap perkataan lelaki itu ibaratnya bak bimbingan yang wajib kau turuti. Kau bodoh, Rose.

Dadamu berasa bertambah sesak. Bulir bening di pelupuk matamu memutih, dikarenakan terbias purnama ini malam. Mereka menetes, membasahi dinding pipimu yang memeras.

Terasa sakit di dadamu bertambah bikin kamu menderita. Sampai, beberapa kali kau terbatuk-batuk serta bibirmu yang berpoles gincu merah itu kelihatan menyatu dengan cairan anyir yang tersisa vlek di atas mantel hitam yang kaukenakan.

Inginku memegangmu, Rose. Meletakkanmu di dekapan yang pengin kuberikan laiknya beberapa tahun lampau. Akan tetapi, sebenarnya hingga detik ini, waktu belum pula mengizinkanku buat sebatas menelanjangi birahimu.

Saya ingat benar, bagaimana gurat panikmu waktu satu satu timah panas tembus dada banyak tamu undangan, yang terduduk khusyuk senja itu. Mereka yang pengin jadi saksi hari pemberkatan perkawinan kita mesti selesai dengan mengenaskan. Mengiris hati. Namun, ini bukanlah salahmu, Rose. Betul-betul bukan. Akan tetapi, eks pujaan hatimu saja yang sangat berkeinginan buat punya diri kamu. Sampai, dia demikian nekad pengin merenggutmu dariku.

Sampai lewat cara bengis begitu.

Aku juga ingat benar, bagaimana kau menangis pilu waktu peluru paling akhir itu pun ikut tembus rongga dadaku. Kau memekik, bak anak ayam yang sedang kehilangan induknya. Kau menjerit, menangisi kematianku. Sampai, sebelumnya kita mengaktualkan satu satu ide elok yang kita tuliskan bersama, dalam helai diary

Merah muda yang saat ini kau pegang kuat.

Saya tahu kau rindukanku, Rose. Namun, udah seyogyanya kau masih di kehidupanmu serta saya masih di tempatku, mengamati diri kamu yang bertambah mati rasa.

Apa hatimu sungguh-sungguh udah mati, Rose?

Sampai waktu lelaki tambun yang merayumu malam itu, cuma kau tebang demikian dengan parang yang ada dalam ruang kamarmu. Setelah itu kau mencincangnya serta bikin hidangan terlezat, sekali sepanjang umur.

Dunia benar-benar gak adil buat kita, Rose. Saya rasa kau lantas memikir begitu.

Hal semacam itu kau tampilkan dengan memakan harimu di kelab malam seberang kota itu.

Dengan meliuk lekukkan badanmu yang berkulit mulus, sebenarnya udah sukses kuras kantong tebal banyak pemadat wanita binal sepertimu.

Aura yang terpancar dari diri kamu, benar-benar membikin siapa saja bakal terhasut. Caramu menunjukkan kepiawaian dalam menandakkan pinggul elok itu, sungguh-sungguh prima.

Serta tentulah sukses menghipnotis tiap-tiap mata yang sedang mengikut tiap-tiap gerak erotismu.

Sayang, saya gak sudi lihat bagaimana pria-pria mempunyai tubuh tambun itu memainkanmu di atas pembaringan. Sakit yang merembet serta menyerang ruang ini demikian menyiksaku. Saya gak terima, gadisku jadi bahan pemuas serigala buas seperti mereka. Kau sangat mempunyai nilai, Rose.

Misal kau tahu itu.

Saya belas kasih melihatmu, tiap kali sesak serta sakit itu merajam diri kamu. Pun waktu ini, tidak ada henti kau memuntahkan cairan merah dari dalam badanmu. Kau menderita.

Sampai, sakit yang bertambah meradang itu gak terbendung kembali olehmu. Kau menangis, kau menjerit dalam hati kecilmu, kau pengin mati.

Buat pertama kali, kau memohon di Tuhanmu, buat lekas mengambil nyawa yang sekian lama ini gak kauhargai.

Badanmu tersandar kurang kuat di pundak bangku, kesadaranmu masih ada di tempatnya.

Pun terasa sakit yang dari sejak barusan menghujan, perlahan-lahan lesap gak bersisa.

Terlihat, dunia masih pengin melihatmu

menderita, Rose.

Kau usaha buka sarung tanganmu. Kelihatan udah vlek darah membekas dari sana. Kau udah sukses menetapi janjimu hari itu.

Dalam beberapa detik terakhir kematianku, kau bersumpah bakal menebas leher eks pujaan hatimu itu. Serta hari itu, selesai lelaki itu bebas dari jeruji yang sekian bulan membatasinya, kau menangis. Terasa sakit dikarenakan gak adilnya hukum yang dijatuhkan untuk dia bikin kamu makin berang serta pengin lekas melumatnya. Dalam waktu relatif cepat kau pengin jadi hakim tunggal yang bakal menjatuhinya dengan hukuman mati. Dikarenakan untukmu, itu yaitu hukuman setimpal buat lelaki keparat seperti dirinya sendiri.

Sayang, semuanya gak jalan sama hal yang kau duga. Lelaki tersebut tetap bebas berkeliaran, sampai sempat sekian kali mengolok serta menerkammu di atas pembaringan.

Satu soal yang semakin lama kau pahami, lelaki itu gak sungguh-sungguh menyenangimu. Petaka penembakan hari itu, cuma wujud terasa sakit hatinya pada kamu yang udah pergi matikannya demikian saja, buat bisa menikah denganku.

Terasa sakit itu sebenarnya saat ini udah berganti pada kamu. Langkahnya merendahkanmu di kelab malam itu, bertambah memupuk kebencianmu kepadanya.

Sampai, selanjutnya kemenangan udah berpihak pada kamu, Rose.

Marah pun sakit atas kematianku saat ini terbayarkan udah dengan tebasan pisaumu.

Kau suka, begitu juga denganku.

Saat ini, saya membulatkan niat buat berdiri di depanmu. Buat kali pertamanya saya mengerjakannya, serta kau terkekeh melihatku berurai air mata.

Dengan sesak masih tinggal di dadamu, kau menyudahi senyumanmu.

Terus memandang lengket diri yang cuma terdiam pilu. Kau kembali membentangkan garis bibir merahmu, usaha mendapat parasku walaupun cuma sia.

Terus kau keluarkan sebilah pisau yang disimpan rapi di kantong mantelmu. Buat kali pertamanya, kau berani buat menyudahi kesulitan yang sekian lama ini merajam lahir pun batinmu.

Saya cuma geleng-geleng lambat. Akan tetapi, sebenarnya ambisi udah membulat prima. Kau pejamkan mata, terus menggoreskan permukaan tajam pisau merah sisa darah lelaki keparat itu, di atas lehermu. Membikin darah merembes keluar, membikin badanmu mengartikulasikanng sebelumnya lantas sukmamu menyambutku dengan senyuman lega.

"Saya sudah menanggung derita. Saat ini, layakkah saya mendapat surga bersamamu?"

Saya mengusikk mudah, sambil kusahut pelukmu makin kuat.

Kau, gadisku serta selama-lamanya bakal sama, Roseane.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Pendaki Wanita Dipeluk Figur Raksasa Hitam Dengan bulu di Gunung Gede

  GUNUNG Besar sebagai spot pendakian yang cukup terkenal di kelompok pendaki. Berada di Jawa Barat, gunung ini berketinggian 2.958 mtr. di permukaan laut (mdpl) dan ada dalam cakupan Taman Nasional Besar Pangrango. Keelokan Gunung Besar sayang tidak lepas dari cerita seram yang diletakkannya.Seringkali beberapa pendaki Gunung Besar harus alami peristiwa yang tidak dapat diterangkan oleh akal sehat. Misalnya saja Gandel, seorang pendaki wanita yang punyai pengalaman mistik saat dia berpeluang mendaki Gunung Besar bersama beberapa rekannya.Dia dan kelompok pilih lajur lewat Gunung Putri. Walau gerimis, Gandel masih tetap segera naik dari basecamp ke pos 1 pada jam 08.00 WIB.Pendakian sebelumnya berjalan mulus, hingga kemudian mereka sampai di pos 3 dan hujan juga turun dengan derasnya.Simak juga: Pengalaman Mistik Pramugari Naik Pesawat Menyeramkan Buat Bergidik"Pos 3 nih, saya yang status masih haid cukup sensi sedikit. Naik dari pos 3 ke pos 4, emosi bertambah. Karena memang huja...

Cerita Pernyataan seorang waktu jadi babi ngepet

  Babi ngepet yang berada di Sawangan, Depok menggegerkan warga Indonesia. Masalahnya praktek babi ngepet sendiri banyak yang yakini jika itu cuman dogma saja.Tetapi, ada pula yang yakini jika babi ngepet memang betul ada. Berikut pernyataan seorang pria yang dahulunya pernah lakukan ritus babi ngepet yang diambil Okezone dari kanal Youtube TH.2 TvFirman (bukan nama sebetulnya) lakukan laganya di tahun 2003. Karena tekanan ekonomi di saat itu, Firman ke satu wilayah di Jawa Barat. Di sana, dia menjumpai seorang dukun untuk diajari langkah lakukan ritus babi ngepet.Sesudah mendapatkan panduan, dukun itu arahkan Firman untuk ke sebuah kompleks makam. Di makam itu ada sebuah pusara panjang di bawah pohon besar yang nanti akan dipakai Firman sebagai lokasi ‘bertirakat' dan berpuasa.Tetapi, puasa yang ditempuh oleh Firman sedikit berlainan. Saat pagi hari, dia bisa minum air embun. Siang harinya dia bisa makan tetapi cuman beberapa kepal ketan putih saja. Lantas lanjut berpuasa kembali ...

Cerita kerajaan tuyul di gunung Suru Sleman

    Bila kita bertandang ke Gunung Suru, Sleman, sering dihubungkan dengan tuyul, tipe makhluk lembut yang bertubuh kecil seperti anak-anak. Konon di Gunung Suru ada sebuah lokasi yang jadi kerajaan oleh tuyul. Sudah diketahui, Tuyul sendiri sebagai makhluk nyata seperti anak kecil yang kerap dipiara untuk mengambil uang. Banyak orang memiara Tuyul karena ingin kaya raya dan punyai banyak harta. Salah satunya lokasi yang konon sebagai istana tuyul ialah Gunung Suru, Sleman. Masyarakat sekitaran mengenali Gunung Suru sebagai tempat beberapa orang ambil tuyul untuk dipiara, selanjutnya diminta cari uang. Jika disaksikan dari mata orang biasa, tidak ada yang spesial dari wilayah Gunung Suru ini. Cuman ada bentangan ilalang dan pohon-pohonan tumbuh di bukit batu-batuan itu. Nach, salah satunya batu itu, yang dikatakan sebagai Watu Ogal-agil. Di batu berikut disebut pusat kerajaan tuyul ini ada. Letak watu ogal-agil cukup unik, karena ada di ujung tepi tebing. Disaksikan sepintas, ...