Saat itu angin terhembus sepoi-sepoi menimpa mukaku. Tidak berasa saya telah berapa bulan di Pondok Pesantren Mukminun ini. Lokasinya berada di Jawa tengah dekat sama Gunung Lawu yang pas diperbatasan Jawa tengah dan Jawa Timur.
" Membawa Di, saya asli orang sana ya tahu lah dingin sekali tu di gunung kok", jawabku. Esok adalah hari di mana kita kemping ke Gunung Lawu, tetapi sekarang mendung telah menegur, dibenakku ialah rasa dingin yang jelas menyerang, menyaksikan cuaca yang tengah masuk musim hujan. Bersama 109 dan 10 pembina Pondok Mukminun kami akan pergi memakai truk dan entahlah sekitar itu ada berapakah truk yang hendak bawa kami.
Namaku Aryo, orang yang cukup pendiam dan paling sukai nikmati alam. Esok ialah hari yang kutunggu-tunggu karena kemping di alam bebas benar-benar menyenangkan.
Malampun mendekati dan hujan tidak tiba menegur kami di pemondokan. Kami larut dalam dengungan Ayat-ayat Al Quran yang dihafalkan, memang seperti itu sehari-harinya kami, bergulat dengan beribadah dan kami telah terlatih.
Saat akan bergerak tidur di dipan simpel yang ada diujung koridor pondok, kami beberapa santri repot mempersiapkan bekal untuk esok, ini pengalaman pertama teman-temanku, dahulu saya pernah ke gunung Lawu dan sedikit menjajah di situ, saya jadi berasa sedikit senang karena pernah ke sini, ya memang rumahku tidak jauh disini.
Senin pagi kami pergi, perjalanan memakai truk ini memerlukan waktu sekitaran 2 jam, kami berdesak-desakkan, berdiri, dan sambil menyaksikan alam yang asri saat di perjalanan. Jalan yang kami lewati masih sepi dan jalanan itu dikuasai oleh angkutan dusun, beberapa orang masih ramai jalan kaki dan bersepeda.
Bekal yang kami membawa tidak kebanyakan, satu santri bawa pakaian kesehariannya dan dibagi makanan untuk saat ini supaya mempunyai tenaga dalam membangun tenda.
Tenda yang dibangun sejumlah 7 dan lokasinya berada di lereng timur dari gunung Lawu, persisnya di Mojosemi, sebuah bumi perkemahan di Magetan, Jawa Timur. Oh iya santri yang ikuti kemping ini berumur sekitaran 13-22 tahun dengan 10 pembina dan kami sama-sama menolong bila ada yang kesusahan, karena hidup di santri memang membuat kami seperti keluarga sendiri.
Seperti hari lalu, langit tidak seterang hatiku, mendung pekat mendekati dan hujan juga menerpa. Rupanya hujan bawa sedikit angin yang merubuhkan sebuah tenda yang sudah berdiri tegak. Pada akhirnya kami cuman diam ditenda sampai hujan berkurang.
Jika dari sejak awalnya telah jelek semacam ini saya berasa bisa banyak peristiwa yang tidak membahagiakan, mudah-mudahan saja tidak ada suara gong yang didengar di gunung Lawu ini. Semenjak tiba kesini jam 10 pagi barusan, kami menyaksikan ustadz-ustadz tengah ke sana kesini mempersiapkan beberapa hal, koordinir bersama pengurus Mojosemi dilaksanakan oleh mereka, kadang-kadang santri-santri yang berada di dalam tenda diundang entahlah untuk menolong yang dapat ditolong, seperti membagi agenda atau selembar kertas tutorial yang hendak diterangkan nanti.
Langit telah makin gelap, malam sudah tiba, api unggun yang semestinya berpijar ditengahnya lapangan, rupanya tidak ada, cuman memercayakan api yang kecil dari 'ublik' yang kami membawa dari pemondokan. Edan, dinginnya 1/2 mati. Semuanya sudah siap-siap untuk melakukan sholat magrib, dan kamipun berganti-gantian dalam jemaah. Selang beberapa saat ustadz-ustadz di tenda seberang membagi makanan buat kami, walaupun tidak banyak minimal dapat menjejal perut kami untuk malam hari ini.
Di tengah-tengah dinginnya malam, kami bergabung ke tengah-tebgah tenda yang melingkar, dengarkan apa yang hendak kami kerjakan untuk esok. Ada jadwal menelusuri sampai ke pucuk dan kami semangat dengan itu karena selainnya tidak pernah ke situ, orang ngomong pucuk gunung dapat menyingkap jati kita. Sesudah dengar instruksi-arahan dari beberapa ustadz akhirnyapun kami kembali lagi ke tenda, sesudah sholat Isya tidak ada aktivitas yang dapat kami kerjakan, cuman bergumul bersama karena dinginnya yang mengagumkan. Jaket cuman dipunyai oleh beberapa anak, pada tahun 1987 unggulan kami cuman kain panjang berupa sarung untuk menghangatkan diri.
Di pondok kami memang kerap hidup simpel, jadi berlibur semacam ini adalah hal yang dinanti-nantikan walaupun berangkatnya berdesak-desakan hanya karena memakai dua truk, kami masih tetap berbahagia minimal tidak jalan kaki untuk kesini, hehe. Seperti umumnya, jam 3 pagi ialah waktunya kami bangun dan lakukan sholat malam, tanpa dikomando kami berganti-gantian ambil wudlu dan membuat barisan jemaah dalam tenda masing-masing, sambil menanti subuh mendekati kami bercengkerama dan mengulas apa yang hendak dilaksanakan saat menelusuri datang. Kelompoknya di bagi jadi 5, begitupun ustadznya, ada sekitaran 20an santri pada sebuah barisan.
Kami satu tenda ditambahkan beberapa santri dari tenda lain jadi satu barisan dalam jumlah 24 santri, dipegang oleh ustadz Wahib kami ada di barisan III. Jam 10 pagi kamipun mulai pergi, di perjalanan sangat menyenangkan, kami bergurau dan sama-sama mengingati keduanya, Ustadz Wahib bercerita beragam kisah hidupnya saat ada di alam terbuka.
Jalan yang kami lewati seperti tidak pernah disentuh manusia, beberapa tumbuhan ada banyak dan kami harus menghajar alas supaya bisa dilalui. Tanpa kontribusi alat seperti kompas, peta bahkan juga baju kami biasa-biasa saja, masih nekad untuk pergi. Barusan kami pergi lewat jalan setapak dari Mojosemi, jalan Wadhal, pintu belakang dari gunung Lawu ini.
Kami cuman kenakan pakaian sehari-harinya tetapi cuaca yang tempo hari didera hujan sedikit tidak terasa dingin karena keadaan kami yang tetap bergerak. Di perjalanan kami berjumpa dengan barisan lain, selanjutnya kami sama-sama memilih untuk tidak satu lajur, pada akhirnya dua barisan yang berjumpa sama-sama pisahkan diri, tidak cuman berpapasan dengan barisan lain, saat menyaksikan jalan yang seperti telah dilalui beberapa santri, kamipun cari jalan lain, jiwa muda kami berkobar-kobar.
Rupanya banyak tebing dan jurang yang terjal di sini, kami harus waspada supaya tidak tergelincir jatuh kedalamnya. Sampai pada akhirnya kami capai satu pucuk yang belum terlampau tinggi, masih kelihatan pucuk lainnya di situ, tanpa berpikir panjang kamipun meneruskan perjalanan. Tidak berasa hari mulai gelap, walau sebenarnya semestinya kami telah kembali saat jam tiga sore, pada akhirnya kami putuskan kembali dan rupanya dimuka telah terhadang kabut yang mulai menyelimutinya. Tanpa pengetahuan untuk mendaki dan kurangnya pengalaman kami juga cuman jalan tanpa arah, hari makin malam, tidak berasa bekal kami makin tipis.
Ditengah-tengah ketidaktahuan, kami cuman berdoa dan berdoa sambil duduk di salah satunya batu-batuan yang ada karena tanahnya masih basah karena hujan di hari Senin. Teman-temanku telah capek dan coba melempengkan kaki, mereka ambil napas dalam-dalam sekalian memegang perut dan ada pula yang menunduk ke tangan yang didukung pada lutut. Ustadz Wahib masih cari jalan yang kiranya dapat dilewati dan coba mengingat arah mana mereka pergi barusan, dikit demi sedikit kami jalan kembali, seringkali ada jurang yang terjal dan jalan yang curam kami lewati, tanah yang licin membuat kami kesusahan dalam jalan, apa lagi tubuh telah basah dengan lumpur dan kadang-kadang ada yang tergelincir karena cuman memakai sandal yang umum digunakan di pondok.
Medan yang dilalui terlalu curam dan kami percaya saat pergi barusan, tidak lewat jalan ini. Tetapi kami cuman ikuti instruksi ustadz Wahib, makin lama tenaga kami terkuras dan sebentar-sebentar istirahat. Rasa haus dan perut mulai keroncongan membuat beberapa dari kami sedikit meracau dengan menjelaskan yang tidak-tidak, yah ini pengalaman pertama menelusuri gunung sampai pucuk.
Seperti tahu jalan beliaupun mengutus 3 santri yang kuat untuk turun dan minta bantuan, karena hari telah makin gelap dan ada santri yang sudah tidak kuat untuk jalan kembali. Kami yang masih ada masih diam di sini, tanpa bekal dan cuman usaha cari apa saja yang dapat dikonsumsi tetapi kami tidak paham tumbuhan yang mana dapat dikonsumsi. Ustadz Wahib juga membacokkan parangnya ke pohon yang ada disampingnya dan beliau mencicip getah yang keluar tangkai pohon, "Tidak nikmat", ucapnya.
Dibanding diam diri semacam ini kamipun setuju untuk turun kembali dengan sama-sama bersisihan supaya tidak terpisah karena jalan yang terlalu gelap. Saya cuman dapat berdoa supaya kuat bawa raga ini sampai bawah. Kami sama-sama memijat saat istirahat, kami minta ustadz untuk berdoa supaya kami semua selamat, kami meredam tangis karena ingat orang-tua kami yang belum ketahui jika kami tidak baik saja. Ini baru hari awal dan tidak ada 24 jam, kamipun menginap di sini, tanpa alas tanpa pakaian tebal, cuman bersisihan keduanya.
Saat pagi datang Ustadz Wahib kumpulkan kami dan mengajari ke kami untuk tulus saat membaca zikir, selanjutnya mengutus enam orang dari barisan ini untuk turun dan cari kontribusi, karena ini telah ganti hari dan bahaya bila semakin lama tidak terurus di sini. Pada akhirnya enam orang yang berumur paling tua menuruni gunung dengan modal kayu untuk menyokong badan mereka, dan kami cuman duduk melihati sekitaran lalu menelusuri sedikit untuk cari suatu hal yang kemungkinan dapat dikonsumsi, saya mendapati ulat jati yang ada dalam tanah dan kuberikan pada Ustadz Wahib.
Kemungkinan beliau tidak pernah dan tidak sampai hati makan ulat-ulat ini, pikirku. Pada akhirnya saya makan dengan santri yang sampai hati mengkonsumsinya mentah-mentah, walaupun benar-benar tidak kurangi rasa lapar ini, tetapi perut rasanya telah perih dan melilit.
Atas saran Ustadz Wahib supaya kita sedikit bergerak turun juga membuat kami semua sedikit kerepotan, kaki rasanya malas bergerak dan tubuh seperti ingin jatuh. Baru saja berjalan sesaat saja nyaris semua tidak kuasa meneruskan, kamipun istirahat kembali, keadaan kami makin turun, sampai sore mendekati 8 dari kami telah lelap dalam kenyamanan. Ya mereka wafat di sini, saya yang paling terpukul di sini, Bayu tempo hari berbicara yang tidak-tidak dan sekarang dia sudah tidak ada, jasadnya yang telah dingin jadi kaku dimuka mataku, ingin rasanya menangis tetapi raga sudah tidak kuat kembali.
Ustadz Wahib merekomendasikan untuk tinggalkan mereka di sini lebih dulu dan menutupinya dengan daun seadanya, dan kami yang masih ada tujuh orang juga meneruskan perjalanan berusaha untuk turun. Sore makin gelap, kami belum menyantap apapun, rasa dingin makin menyodok, pusing sudah tentu dan napas makin berasa sesak, oksigen seperti menjauhi kami, kecapekan mengagumkan mengakibatkan kami stop berulang-kali.
"Jika saya mati di sini titip salam ke emak ku ya pak Ustadz", ucapku lirih sambil duduk bertimpuh di depan pak Ustadz.
" Kamu akan selamat nak Aryo, sesaat lagi", kata Ustadz Wahib memperkuatku supaya masih tetap lebih semangat kembali menuruni gunung.
Karena malam makin gelap, kamipun stop dan istirahatkan tubuh. Beberapa suara binatang malam bersahut-sahutan dan kami semua usaha untuk tidur secara nyaman.
Mendadak saya terjaga, saya menyaksikan sekitar dan berasa demikian gelap, nyaris tidak dapat menyaksikan apa saja, cuman sedikit refleksi sinar bulan yang menyinari kami. Kelihatannya malam masih panjang, tetapi saya tidak dapat tidur kembali, kedengar dari jarak dekat rekan santriku, Ari namanya, bergerak selanjutnya duduk dan mendadak berteriak-teriak panggil Parlan yang ada dimukanya sambil menggoyahkan badannya. Sesudah dengar Ari berteriak dengan suara cukup kuat saya, Ustadz Wahib, Endra dan Rido bangun dan bertanya apa yang terjadi. Ada satu santri yang tidur, saya coba membuatkannya tetapi tidak ada tanggapan darinya. Sekarang tinggallah kami berlima sedang berusaha untuk menantang dinginnya udara yang makin menyerang ke tulang.
"Ah, dinginnya telah menyusut, apa karena saya terguncang teman-temanku wafat ya", batinku sendiri.
" Rido, Endra, saat ini tidak dapat kita diam diri, kita harus cari apa yang dapat dikonsumsi dan diminum, saya akan coba mencari bambu yang kemungkinan simpan air, mari sama", jelas Ustadz Wahib ke kami.
Aku juga segera cari , sesudah bangun tidur kelihatannya tenagaku sembuh dan saya lebih bebas bergerak, rasanya lapar dan haus sudah tidak berasa. Sampai saya lupa diri dan jalan terus jalan sampai pagi mendekati untuk cari bekal, saya mendapati bambu yang dicari Ustadz Wahib, aku juga segera balik lagi ke arah tempat sebelumnya tetapi mereka tidak ada di situ, aku juga menanti di tempat ini, teman-temanku telah ditutup dengan dedaunan, tetapi saya tidak ingat kapan mereka tertutupi, kemungkinan semalam saat sebelum ditinggal.
Pagi sudah menyingsing, saya yang sejak dari barusan menanti belum menyaksikan pertanda kehadiran mereka, apa kemungkinan mereka salah jalan ya?, atau mereka telah turun lebih dulu? tetapi saya barusan belum kembali kesini.. beberapa hal yang saya pikirkan, tetapi salah jalan adalah hal yang paling rasional, pikirku.
Hari semakin siang, situasi di sini kelihatan asri dengan burung-burung yang berkicau dan matahari sedikit dapat masuk ke arah tempat ku duduk. Mendadak tiba gerombolan orang dengan bawa tandu.
"Di tempat ini ada mayat tiga orang Ndan", kata seorang yang ada disebelahku.
" Yaudah mari diangkut", balas lelaki memiliki tubuh kekar yang diundang Ndan barusan.
"Saya tolong ya pak", ungkapku dari mereka, sekalian siap-siap aku juga turut menolong mereka, tetapi seakan tidak mau diberi kontribusi, mereka tidak perduli apa yang saya kerjakan, saya cuman menolong menggenggam kaki temanku yang menjadi mayat ini. Lantas saya ikut juga menutupkan resleting di mayat lain, dan saya menyaksikan diriku ada dalam kantong itu.
" Lho.. saya masuk kantong mayat?", tidak berasa air mataku mengucur dan badanku rasanya beku, saya menangis, tidak kusadari ke-2 temanku yang wafat melihatku dari bawah pohon randu ada di belakang ku. Saya cuman menangis dan menangis.
"Iya Ded, Wadhal maknanya Korban. Jalannya terjal di situ tu. Dahulu ada juga pendaki melalui sana sesudah peristiwa kematiannya 15 orang, ucapnya sepanjang ia melalui sana cocok mendekati maghrib mereka dengar suara tangis, selainnya ada suara tangis ada juga yang nyebut AKU MASIH HIDUP, tetapi hanya terdengaran deket dalam telinga, teman yang lain gak turut denger. Jika ada yang melalui sana, tentu kedengeran suara gong bunyi Ded, jadi beberapa pendaki yang naik pada turun semua karena gong itu nandain hal yang jelek", jelas Esa yang telah ada dimuka Dedy ambil langkah sempoyong sekalian menuntun carier.
" Banyak ya itu 15 orang wafat, kedinginan kali di situ, tahun berapakah sich?", Dedy yang ingin tahu memberondong beragam pertanyaan pada Esa.
"Tahun 85 atau 87 lupa, masih tetap ada informasinya di majalah kok, mencari saja jika ingin. Mereka gak pakai jaket Ded, jadi hanya baju biasa, gak hanya 15 itu kok, mereka bersama beberapa ratus orang, wong itu acara sekolah, lantas ada yang salah jalan dua barisan, untung satunya dapat kembali ke camp di Mojosemi", jawab Esa sekenanya.
"Hahaha, itu tetap dibisikin doang, jika melalui Wadhal yang ada lu jadi korban Ded, eh tetapi dahulu sempat ada narasi, ada yang melalui Wadhal terus ia kecapekan karena lajurnya memang terjal, istirahat berulang-kali, mereka bertemu gerombolan pendaki yang ucapnya jalannya tu aneh, seperti lempeng saja..tak ada interval buat kaki turun naik Ded, kemungkinan itu jin yang niru untuk ngegoda manusia Ded. Untung lajurnya telah ditutup itu, telah tak ada yang melalui sana tahun 2019 ini.." kata Esa sekalian tunjuk-menunjuk pucuk Wadhal.
Comments
Post a Comment