Kami diam dan tidak sama-sama bercakap. Bapak ini selalu merengkuh tanganku. Jalan masuk ke sinar jelas yang berada pada depanku. Tembus kabut. Kami lagi jalan. "Pengen ke mana ini?" gumamku dalam hati.
Mataku silau saat kian dekat pada jalan yang paling jelas itu. Kabut tampak mirip awan putih terkena sinaran sinar itu. Kami melaluinya, untuk sejenak saya tidak dapat memandang suatu hal, bapak itu membebaskan tanganku, entahlah ia berada pada mana, "Kya..." saya berteriak cepat, saya jatuh ke lubang yang paling dalam, melayang. Kau ketahui, saya sudah penat teriak namun tidak pula hingga sampai dasar. "Bruak!" Saya jatuh ke dasar. Badanku tersentak. Saya terjaga, astaga rupanya soal mengerikan yang kualami cuma mimpi, ah sukurlah...
"Buh... alhamdulilah pada akhirnya kamu bangun pula," papar Ani. Kusaksikan seputarku, saya udah ada di dalam daerah yang tidak serupa dan di kelilingi Ifa, Muh dan sebagian orang yang tidak kukenal.
"Ini di mana? Seperti masjid," ujarku lirih.
"Ini benar-benar di masjid, barusan kami membawamu kesini," jawab Ani.
"Marilah dek duduk dahulu!" perintah seorang padaku. Saya memandang bapak itu, orang itu semacam tahu buatku. Bapak ini semacam seorang yang berada pada dalam mimpiku barusan, apa ini? mengapa dapat bapak yang berada pada dalam mimpiku, seorang yang tak pernah kukenal awal kalinya juga tidak kusaksikan awal kalinya berada pada hadapanku saat ini? Saya kebingungan, terdapat banyak pertanyaan penuhi otakku. Tiada menjawab saya ikuti perintahnya.
"Lihat tangan kananmu," tangkisnya. Saya memandang telapak tanganku lalu kuulurkan kepadanya. Bapak itu mencapai tanganku dan memegang ibu jariku. "Kya..." sakit. Tanganku terasa sakit saya menjerit sekencang-kencangnya. Kian lama bapak itu memegang tanganku dan seluruhnya badanku berasa sakit. Saya meronta usaha membebaskan tanganku dari genggamannya. Namun bapak itu lagi memegang tanganku.
"Ha... sakit... ampun hua..." teriakku. Tapi bapak itu tidak pula membebaskan genggamannya.
"Pegangi ia!" perintahnya. Lantas 2 orang pria memegangku.
Tuntas udah, saat ini saya tidak dapat bergerak. Saya meronta, menjerit, menangis sekencang-kencangnya. Tubuhku sakit, tulang-tulangku seperti hancur.
"Amampu pak. Aaau sakiiit pak, huaa.... saaaakkkiiittt... udah pak tolong bebaskan pak... SAKIT..." teriakku.
Cuma 5 menit bapak itu memegang jempol tanganku. Namun rasanya saya seperti disiksa lama. Badanku lemas membatasi merasa sakit. Bapak itu membebaskan genggamannya dan menyeka mukaku.
"Telah tidak apapun," papar bapak itu sembari memberikan satu gelas air. "Ini minum dahulu! Sudah tidak ada apa-apa."
Saya duduk bersangga di tembok, Ani menyeka keringatku dengan tisu. Saya duduk tercenung, jujur saya kebingungan dengan yang terjadi. Saya terlintas sigit. "Bang Sigit mana?" tanyaku lirih.
"Sigit berada pada sana, ia sudah tidak papah. Sudah dibantuin sama bapak itu," jawab Ani sembari memandang bapak yang ia iktikad.
Lantaran prahara ini kami jadi membolos kerja. Kami seluruh dibawa ke rumah pak ustad yang bertepatan pula merangkap jadi RT di sini.
"Pak maaf, bisa saya bercakap dengan adek-adek ini?" kedengar suara orang pria yang bercakap dari teras.
"Oh ya silakan, silakan masuk!"
Rupanya yang ada Pak Jupri sang penjual soto. "Assalamualikum..." tangkisnya memberinya salam.
"Waalaikum salam." Seluruhnya orang yang ada di dalam area tamu menjawab salamnya. Pak Jupri menyalami kami seluruh yang berada pada area tamu.
"Maaf pak RT saya mau berbicara dengan adek-adek ini lantaran barusan di warung saya ada ibu-ibu berlangganan saya narasi ujarnya ada yang kerasukan lalu dibawa ke rumah pak RT. Saya ingin tahu lalu saya bertanya siapa, ujarnya anak kontrak yang sewa rumah di ujung jalan sana, rumah Pak Ahmad. Maka itu saya terus kesini pak pengen memandang situasi mereka," papar Pak Jupri.
"Oh ya pak bisa silakan," jawab pak RT.
"Bagaimana kondisinya dek?" bertanya Pak Jupri.
"Alhamdulilah pak baik," papar Muh sembari melemparkan senyuman.
"Berikut dek, saya pengen tanya mengapa kalian dapat kesurupan?"
"Saya sendiri pun tidak ketahui pak. Hati saya, saya tengah tidur," jawab Sigit.
Muh melemparkan penglihatannya padaku. Lantas mengacaukankkan kepala. Saya ketahui artinya.
"Berikut pak," saya berani bicara. "Malam itu sebelumnya momen Bang Sigit kesurupan. Saya memandang ada makhluk hitam dengan bulu tinggi besar dengan mata melotot dan bertanduk berada pada dalam kamar kawan saya. Makhluk itu kelihatannya Genderuwo. Ia tengah megang-megang kawan saya yang tengah tidur. Waktu tinggal di dalam rumah itu dari pertama masuk hingga sampai sekarang ini. Saya kerap bisa masalah. Kalaupun malam kerap dengar orang nyapu. Dari kamar sewaong dari sisi kamar saya kerap kedengar suara ramai lalu berulangkali saya ditakutin hantu. Rumah itu serius mengerikan."
"Iya pak, saya pula ngalamin, kawan saya Sigit pula, pernah kita berdua kedua kalinya di dalam rumah itu ngelihat monyet namun tiap-tiap kami mencari monyet itu lenyap entahlah ke mana perginya," jadi Muh.
"Maaf berikut pak RT," ting...ting...ting... belumlah sempat pak Jupri tuntas bercakap smartphonenya Muh mengeluarkan bunyi, ia tergesa-gesa lari keluar.
Pak Jupri menambahkan bercakap. "Menurut narasi saudara saya yang dahulu pernah tinggal di dalam rumah itu, rumah itu mengerikan pak. Ia tahu benar sangkut-paut rumah itu, ia kerap narasi ke saya. Lantaran ia masihlah ada pertalian dengan sang pemilik rumah. Saudara jauh saya itu temannya sang pemilik rumah."
"Maaf minta izin, saya pengen pamit jemput paman saya pak," Muh mendadak masuk dan menyela percakapan.
"Oh ya silakan," jawab pak RT. Muh lantas pergi pergi nyusulin pamannya.
"Tidakkah pemilik rumah itu Pak Ahmad ya pak?," papar pak RT menambahkan pembicaraan baru saja sempat terputus.
"Bukan pak, pemilik awal mula rumah itu Pak Burhan. Yang mati satu tahun lalu. Menurut narasi saudara saya. Maaf ini pak RT awal kalinya, bukan saya pengen menyebar fitnah atau apa, saya cuma mau menginformasikan saja agar jangan sempat ada momen-kejadian sebagai berikut terulang."
"Iya pak saya ketahui," papar pak RT sembari mengacaukank.
"Menurut saudara saya, Pak Burhan mengerjakan pesugihan. Saya bercakap sebagai berikut menurut apa yang dikisahkan saudara saya. Saya masihlah ada contact smartphonenya, bisa dikonfiirmasi yang perihal langsung."
"Maaf apa dapat kita telepon pak?"
"Oh tentunya dapat," papar pak Jupri sembari ambil smartphone lalu mengabari saudaranya. Tidak beberapa lama telepon terjalin dengan seorang.
"Waalaikum salam Asmadi, ini saya udah ada di dalam rumah pak RT bersama dengan adek-adek yang sewa rumah Pak Burhan baru saja saya beritahukan ke sampean," Pak Jupri mengubah volume telponnya.
"Oh ya pak terima kasih. Asalamualaikum pak RT."
"Waalaikumsalam," jawab kami semua.
"Berikut pak, tolong rumah itu baiknya gak boleh didiami, saya memohon kontribusi pak RT untuk bercakap sama Ahmad supaya rumah itu tak usah dikontrakkan, kalaupun dapat ditumbangkan saja. Rumah itu sisa dipakai untuk muja. Kemungkinannya kecil kalaupun Ahmad tidak ketahui masalah ini."
"Kalaupun soal itu enteng, namun apa bapak dapat bertanggung jawab pembicaraan bapak ini. Jangan sempat kelak mengakibatkan fitnah."
"Iya saya sangatlah dapat bertanggung jawab perkataan saya pak. Dahulu saya dan Burhan itu kami berkawan. Apa saja yang ia melakukan ia selalu ajak saya, juga saat cari hoki di kuburan ngujang juga bersama saya, jadi saya ketahui. Ia ngajakin saya, sebelumnya saya pula bermaksud cari hoki di situ. Namun saya batalkan kemauan saya. Pada akhirnya saya cuma tunggu Burhan di luar. Saya nungguin ia di warung. Seterusnya saya tidak terjalin sama dia kembali nyaris satu tahun lantaran mengelana ke Sumatera. Habis pulang dari Sumatera saya ada soal keluarga pada akhirnya Burhan nawari saya rumah untuk ditempati. Lantaran tidak ada alternatif lainnya saya terima kebaikannya, saya duduki rumah itu namun saya tidak mengira kalaupun rumah yang dikasihkan di saya buat saya tinggali itu rumah sisa pencintaan. Ia udah buat istri dan anak saya jadi tumbal."
"Maaf pak tanya, kamar sewaong yang di dekat dapur, apakah yang dimaksud gudang?" sahutku.
"Bukan dek, itu kamar dipakai untuk muja. Saya pernah buka paksakan kamar itu. Dan terasa istri saya dan Burhan ada di sana.
Mulai sejak momen itu sikap istri saya berganti. Ia jadi dingin sama saya, saya ngajakin ia berpindah namun istri saya menampik. Jadi memohon pisah. Pada akhirnya saya bersama anak sulung saya tinggal di dalam rumah Pak Jupri sedang anak pertama saya jangan dibawa oleh istri saya. Saya bercerita seluruh momen itu di Pak Jupri. Pak Jupri meyarankan saya untuk ajak paksakan istri saya keluar rumah itu. Tapi apes anak dan istri saya mati dibentur truk. Saya menerka anak dan istri saya udah jadikan tumbal ritus pesugihannya tapi saya tidak mempunyai bukti untuk menuntutnya."
"Iya pak, saya yang larang Asmadi menuntut Burhan atas kematian anak serta istrinya. Lantaran tidak terdapat bukti dan itu sangat juga beresiko kasihan kalaupun hingga sampai ia pula jadi korban jadi bagaimanakah dengan anaknya. Saya yang memerintah ia iklas dan menyerah diri di Yang Kuasa. Atas seluruh halangan yang mengenainya. Namun kalaupun masalah ini selalu di diamkan pula tidak bagus kan pak, ini udah mencelakai seseorang. Meskipun Burhannya sendiri saat ini udah mati. Mungkin ritus selalu berjalan dilanjutkan oleh adiknya," sahut Pak Jupri.
Pak RT lantas cuma mengacaukank-anggukkan kepalanya. "Baik kelak saya akan mencoba memandang rumah itu," tangkisnya.
"Baik terima kasih pak, kalaupun saya diperlukan saya siap ke situ. Kapan-kapan saya dapat ke situ namun tidak saat ini lantaran saya tetap kerja," papar Pak Asmadi.
"Oh ya boleh-boleh, silakan tidak ada apa-apa."
"Terima kasih, kalaupun demikian saya matikan dahulu telponnya lantaran saya harus kembali kerja. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," jawab kami.
Muh ada bersama pamannya. Pamannya Muh bercakap dengan pak RT, entahlah apa yang mereka bahas. Ani dan Ifa nungguin Sigit yang ada di dalam kamar sedang saya, saya menunjuk duduk di teras rumah.
"Heh ngapain kamu duduk di sini sendirian?" sapa Muh yang mendadak duduk di sampingku.
"Saya pikirin momen barusan bang. Kok dapat Bang Sigit kesurupan."
"Jadi ini, semalam saya tidak dapat tidur habis mimpi jelek. Habis dari kamar mandi mendadak saya bergidik, tergesa-gesa masuk ke kamar lagi tidur sembari mendengarkan MP3 ayat-ayat Al Qur'an, adzan subuh saya pengen ngambil air wudhu eh mendadak Sigit mengerang-erang kukira ia ngelindur, serasi dibangunin ia jadi nyekek saya. Langsung saya lari ke kamarmu. Rupanya ia kerasukan."
"Lagi saya barusan mengapa bang?"
"Yailah kau lupa, kau kan pula dicekek Sigit. Was-was saya, takut kalaupun kau mati. Saya usaha ngelemasin genggaman tangannya Sigit. Hingga sampai Sigit saya jam gunakan balok kayu."
"Ih jahat sekali kau bang."
"Dibanding kau mati Buh, sampai hati tidak sampai hati mukul sang Sigit. Hilang ingatan tenaganya kuat sekali. Untung saja Ifa, Ani sama bapak-bapak selekasnya dateng, jadi mereka di bantuin. Kau udah duduk bersangga di tembok tidak sadar diri, matamu terbuka namun penglihatanmu kosong, njir kukira kau mati Buh. Sang Ani sudah nangis-nangis histeris."
"Lagi kok dapat berada pada masjid?"
"Ya kalian dibawa ke masjid. Habis nolongin sang Sigit yang ngamuk langsung dah tuch dibawa ke mushola sama bapak-bapak. Sumpah takut sekali saya kalaupun kau mati Buh."
Saya nengok menyaksikan Muhammad sembari melemparkan senyuman. "Kau merisaukanku bang?" ujarku sembari meringis.
Muh melihatku lalu menggenggam mukaku dan mendorongnya. "Tidak mesti masang muka so imut seperti begitu. Jijay saya melihatmu sesuai itu, ah kau ini masih saja ngelawak."
"Bang, saya barusan mimpi masuk ke rimba, langsung tercebur ke sungai penuh mayat banyak sekali. Lagi saya disekelilingi beberapa ratus monyet, setelahnya dikejar-kejar Genderuwo. Entahlah itu Genderuwo atau apaan yang terang sangatlah mencekam. Lagi ada orang yang nolongin saya namun saya tidak ketahui parasnya kayak apakah, busananya serba putih, lanjut di dalam mimpiku ada juga pak RT ngajakin saya keluar dari tempat itu lagi masuk ke jalan yang jelas sekali. Setelahnya saya jatuh dan mendadak terjaga dari mimpi."
"Kamu mimpi seperti begitu?"
"He.em," ujarku sembari menghela napas.
"Mimpi itu semacam riil, ih mencekam. Kakiku dipegangi orang wanita parasnya remuk, tubuh dan tangannya penuh darah, ia ngesot, kaki kirinya hancur sedang kaki kanannya nyaris putus remuk, daging sama tulangnya terkait, ia jalan sembari ngesot."
"Njir horor sekali Buh mimpimu."
"Wahyu, Wahyu baik saja nak?" Sahut pamannya Muh.
Saya nengok ke belakang. "Iya paman baik saya."
"Syukurlah kalaupun demikian, kamu dapat selamat."
"Iya untung dapat selamat, maka itu sebagai orang gak boleh kepo," sahut Muh.
"Paman, sama pak RT pengen ke rumah sewa? Saya bisa turut?" tanyaku.
"Ngapain kamu turut Buh?" Sahut Muh.
"Kepo loe, paman saya bisa turut?" tanyaku kembali.
"Tak usah, kalian di dalam rumah saja," jawab pak RT.
"Heh Buh," Muh menepuk bahuku. "Memang kau itu tidak jera apa ha? Bentar ada hantu, lari-lari kembali."
"Ya takut, namun ingin tahu."
"Sudah tidak mesti ingin tahu kalaupun kamu turut kelak jadi sibuk," papar paman.
"Ya baik kalaupun demikian paman," jawabku.
Pada akhirnya pak RT, pamannya Muh dan Pak Jupri berangkat ke rumah sewa kami.
Dua jam lebih mereka pergi, pada akhirnya mereka kembali. Saya yang duduk di teras bersama Ani dan Muh langsung bergerak berdiri menyongsong mereka. Saya kepo dengan narasi rumah sewa itu.
"Assalamualaikum," papar mereka bertiga.
"Waalaikum salam," jawab kami.
"Paman, saya nungguin paman dari barusan," ujarku.
"Lah ngapain kau itu nungguin pamanku, gak boleh omong pengen kepo!" papar Muh.
Saya meringis. "Paman marilah duduk sini paman, saya pengen denger ceritanya paman barusan di rumah sewa kami ada apakah? " tanyaku. Pak RT dan Pak Jupri ketawa.
"Di dalam rumah itu tidak terjadi apa-apa. Lebih bagus kalian berpindah saja dari rumah itu," papar pak RT.
"Baik, pak," jawab kami.
Pak RT dan pamannya Muh masuk ke rumah. Saya metahan Pak Jupri. "Pak Jupri maaf pengen tanya, Pak Burhan wafatnya mengapa pak?"
"Kecelakaan mobil. Mobil yang dikendarainya nabrak."
"Oh terima kasih pak," jawabku.
"Pak maafkan kawan saya yang keponya keterlaluan ini ya pak," sahut Ani. Pak Jupri cuma ketawa.
"Ish kau ini berhenti saja kepo, manalagi sama perihal-perihal yang mengerikan seperti begitu," perintahnya.
"An, marilah ke rumah itu kembali, marilah bang! Tonton ada apakah di dalam rumah itu yok!"
"Tidak mau, tidak nuruti otak gilamu itu saya Buh," papar Ani sembari ninggalin saya dan Muh masuk ke rumah.
"Bang..." ujarku sembari melemparkan senyuman.
"Tidak mau. Pengen mati konyol kau berangkat ke sana," gertak Muh.
Pada akhirnya kami berpindah dari rumah sewa itu. Menurut narasi pamannya Muh rumah itu sangat banyak penunggunya. Rumah itu jadikan sarang makhluk lembut lantaran rumah itu dipakai untuk ritus. Dalam kamar sewaong itu pamannya Muh mendapatkan sangat banyak banyak barang yang dipakai untuk ritus muja.
Sebetulnya harta itu tidak dibawa mati. Tak boleh sampai begitu memuja harta. Soal yang susah di kontrol oleh manusia itu merupakan gairah, kalau kau tidak pintar bersukur dengan yang kau mempunyai, tak pernah bahagia dengan yang kau mempunyai karenanya kau selalu akan terasa kekurangan. Kalau kau memuja harta dan ambil jalan singkat yang tidak diridhoi Tuhan yakinkan hidupmu dapat menderita bukan cuma di dunia tapi pula di akhirat. Tidakkah rezeki seorang udah ditata oleh Tuhan lalu mengapa kau waswas dapat kekurangan?
Comments
Post a Comment