Beliau mempersilakan saya duduk secara ramah. Kelihatan senyumannya yang megar dari raut mukanya yang kerutan. Pencahayaan di tempat tinggalnya memang lumayan temaram. Tetapi cukup terang untukku menyaksikan dan memprediksi umurnya telah di atas 70 tahun.
Saya selanjutnya duduk bersila di atas selembar alas. Kusapukan penglihatanku ke sekitaran. Rumah nenek ini sangat kedaluwarsa. Bahkan juga dapat disebutkan tempat ini sebuah gubuk dibanding sebuah rumah. Ke mana ya anak-anaknya, mengapa tidak ada yang memerhatikan nenek sebagus ini. Mengapa tidak ada anaknya yang ajak nenek ini ikut ikut tinggal dirumahnya, demikian pikirku. Kasian rasanya menyaksikan sang nenek tinggal sendirian pada tempat semacam ini, yang tentunya jauh dari keramaian.
"Nenek tinggal di dalam dahulu ya mengambil minum dan makan." Sang nenek berbicara ramah kepadaku.
"Oh tak perlu repot nek. Saya masih tetap ada minuman kok ini di botol." Jawabku santun dan penuh terima kasih.
"Ya kan kamu tentu lapar. Kebenaran nenek sedang masak sayur lodeh dan daging. Nantikan sesaat ya." Sahut sang nenek sambil tersenyum dan mengambil langkah perlahan masuk ke dalam.
Saya cuman dapat menggangguk perlahan. Kuakui, saya lapar. Tetapi rasanya bukan jadi poin penting bagiku. Sekarang ini yang paling penting saya telah ada di sebuah rumah, tak lagi jalan tanpa arah diluaran sana.
Kusandarkan tas gunung di sampingku. Lantas saya mengeluarkan handphone punyaku dari kantong celana jeans ku. Terang tidak ada signal di sini. Kusaksikan jam memperlihatkan jam 2.55 pagi. Mereka ada di mana ya saat ini, tentu mereka sedang ketidaktahuan mencariku. Pikiranku melayang-layang jauh.
Saya memang baru saja sekali mendaki Gunung Salak. Dan ini ialah pendakian yang ke-2 buatku. Saya menyesal rasanya, walau sebenarnya saya dapat disebut bukan seorang pemula dalam soal mendaki gunung. Mengapa saya tidak dapat mengatur emosiku. Mengapa saya cenderung pilih jalan sendirian, tinggalkan teman-temanku karena hanya sebuah konflik kecil.
Konflik yang saya tahu awalannya hanya sebuah bergurauan semata. Yah, kemungkinan karena saya punyai banyak pemikiran, yang membuatku dapat gampang tersinggung karena hanya sebuah bergurauan remeh. Tetapi sebagai pendaki yang tidak lagi pemula, semestinya saya jangan lakukan itu. Semestinya saya tahu jika di saat mendaki, semua persoalan sebaiknya ditinggal. Semestinya di saat mendaki, kita cari sebuah ketenangan batin, bukan justru memperkeruhkannya.
Semula saya jalan bersama empat orang temanku. Ada Bayu, Bima, Nabila, dan Andre. Kami mendaki melalui lajur Curug Nangka, yang ada di samping utara gunung. Kami memang punya niat untuk ke arah Pucuk II. Tetapi di tengah-tengah perjalanan saat kami sedang istirahat, ada sebuah kejadian kecil. Awalannya hanya sebuah gurauan, biasa sajalah namanya rekan-rekan seumuran. Tetapi entahlah mengapa saya bisa saja terlampau kekanakan dan menganggap sebagai hal yang serius.
Saya bingung, umumnya saya yang paling dapat berlaku dewasa. Tetapi barusan kuakui saya jadi benar-benar childish. Saya bahkan juga sempat mencaci Andre, karena sangat emosinya. Tetapi sekarang saya menyesalinya. Di gunung memang kita harus waspada. Apa yang kita kerjakan dapat memperoleh balasan yang instant.
Dan berikut yang terjadi kepadaku. Saya salah jalan, berputar tanpa arah yang terang sepanjang lebih kurang nyaris dua jam. Sampai pada akhirnya saya menyaksikan sebuah permukiman masyarakat dari terlalu jauh. Dan saat sebelum sampai ke permukiman itu, saya berjumpa nenek murah hati ini. Nenek ini selanjutnya ajakku jalan ke tempat tinggalnya. Rumah yang sekarang ini sedang saya kunjungi.
"Mari nak Rangga dikonsumsi dahulu!" Suara si nenek mendadak mengagetkanku dan membubarkan lamunanku.
Kemungkinan saya terlampau capek sampai tidak mengetahui kedatangan sang nenek yang sekarang ini telah duduk disampingku. Di hadapanku telah ada periuk nasi, dua kuali yang berisi sayur lodeh dan sop daging, satu piring kosong, dan satu gelas air putih.
"Mari dikonsumsi dahulu, kamu tentu lapar kan." Sang nenek berbicara dengan kurang kuat halus sambil mengelus-elus bahuku.
"Ah iya Nek, terima kasih banyak ya." Jawabku perlahan sambil memperhatikan sajian yang berada di depanku.
Wewangian masakan itu benar-benar mengunggah hasrat. Saya memang lumayan lapar, tetapi entahlah mengapa saya berasa cukup sangsi untuk makan.
"Mari mumpung masih anget Nak Rangga!" Sang nenek kembali berbicara ramah.
Aku juga coba ambil gelas itu. Dan saat saya akan meminum, kedengar suara ketukan yang cukup kuat pada pintu rumah.
"Assalamualaikum! Izin ya, saya ingin jemput Rangga pulang." Kedengar pekikan dari bapak-bapak dengan suara yang parau.
"Pergi! Tidak boleh kacaukan!" Sang nenek mendadak geram dan keluarkan suara yang berat.
Aku juga langsung melihat ke samping. Dan kusaksikan nenek itu telah ganti rupa. Satu bola matanya terjulur keluar. Rambutnya yang putih memanjang sampai sentuh alas. Dari telinganya banyak keluar darah yang benar-benar bau anyir. Saya benar-benar terkejut dan ketakutan. Sampai pada akhirnya saya lenyap kesadaran.
Saya terjaga. Kucoba buka mataku yang dirasa berat. Kusaksikan di sekelilngku, ada teman-temanku dan ada sebagian orang yang lain.
"Alhamdulillah Rangga!" Nabila merengkuhku. Kedengar ada isak tangis di suaranya.
Saya ketidaktahuan dan tidak dapat berbicara.
"Untung saja Gan, kamu dapat dibawa pulang. Coba kalau tidak ada Pak Heri ini, kemungkinan lu tidak akan balik selama-lamanya." Bayu berbisik perlahan kepadaku.
"Elu barusan tersesat di alam lain. Pak Heri ini orang pandai yang nyariin lu."
"Beliau barusan bermeditasi. Selanjutnya arahkan kita untuk cari ke selatan"
"Dan pada akhirnya elu bertemu kembali tidak sadarkan diri di deket bibir jurang."
"Hampir saja Gan!"
Saya masih ketidaktahuan. Sesudah kucoba mengingat lagi, baru saya terpikir muka sang nenek. Aku juga tersadarkan, jika yang kujumpai bukan manusia. Saya jadi terpikir, bagaimana dapat sang nenek tahu namaku, walau sebenarnya saya tidak pernah menyebutkannya.
Tetapi apa saja itu, saya mengucapkan syukur sekarang telah ada di samping teman-temanku kembali.
"Telah tidak boleh dipikir. Saat ini kamu istirahat dahulu ya.." Seorang bapak-bapak yang ada disampingku bicara. Saya ingat dengan suaranya.
"Terima kasih banyak ya Pak." Saya coba berbicara dengan tersisa tenagaku.
Beliau tersenyum, dan mengelus halus tanganku.
Comments
Post a Comment