Adi, Ibu minta! Ibu minta tidak boleh pergi, Nak! Kata beberapa orang tempat itu menyeramkan," hindari ibu sekalian menangkupkan ke-2 telapak tangan, meminta.
Matanya sedikit berair, penuh rasa kuatir dan khawatir. Entahlah kenapa, ibu demikian gampang yakin mitos-mitos sampah yang digembar-gemborkan tetangga. Saya jadi benci dengan sikapnya yang terlampau defensif.
"Dasarnya saya ingin pergi. Saya telah janjian sama kawan-kawan. Sudah, ah, tidak boleh rintangi saya pergi," elakku kasar, dengan penglihatan keras, memandang ibu kandungku sepintas.
Semua bekal pendakian telah berada di dalam tas besar yang sudah kugantung di punggung. Saya langkahi pintu depan dengan caraku yang takabur.
Saya tahu, ibu memburu sampai halaman. Dia berkali-kali menyebutkan namaku, dengan keinginan saya ingin dengar, lalu batal pergi.
Oh, tidak segampang itu.
Hampir 6 bulan lama waktunya saya berencana pendakian ini. Bersama rekan-rekan. Saat liburan sekolah memang waktu yang akurat.
Itu mereka, Evan dan Bimo, rekan-rekan sekolahku, telah duduk manis di atas motor seberang jalan.
Saya percepat cara, abai dengan panggilan ibu yang sayup-sayup lenyap tidak lagi kedengar. Sebuah batu sebesar bola sempat merintangi jalanku, sampai kata kotor itu melaju dari bibir, "... Ancuk.... "
Saya hampir terjungkal. Lalu mencaci seru benda mati itu. Di situ, kudapati Evan dan Bimo meredam tawa.
"Sudah siap?" sapaku sekalian menepuk bahu Bimo.
Pemuda berkumis tipis itu menggangguk, sekalian menjawab, "sudah, donk, Gan. Kamu saja yang lama. Ya kan, Van?" Bimo menjawil Evan yang duduk ada berada di belakangnya, cari pembelaan.
"Ya. Nyaris sejam kita nungguin lu. Lama sekali. Mana sudah jam 8 kembali. Terburu siang nanti," timpal Evan.
"Telah, ah. Tidak boleh banyak bacot. Ini semua karena, tuch, nenek lampir," gerutuku sebal sekalian melihat sesaat ke belakang. Ternyata ibu tidak bertahan, dia tidak terlihat kembali di halaman.
"Saya ingin ngambil motor dahulu di dalam rumah pak de. Kemudian jemput Cindy dan Mia. Kalian nantikan!"
Saya berakhir tinggalkan mereka yang didengar bersungut-sungut, kemungkinan sebal, ke rumah pak de untuk ambil motor.
Tidak berlalu lama, motor koplingan telah kutunggangi keluar. Kuhampiri kembali Evan dan Bimo, lalu melepaskan picu ke barat, tinggalkan asap pekat yang menguar dari cerbong knalpot, mengotori angin segar pagi, melambung sampai ke angkasa.
Cuman perlu lima belas menit kami sampai di pelataran rumah Cindy, kekasihku.
Karena mungkin suara desing motor kami yang kacau, membuat gadis itu sesaat keluar tempat tinggalnya, tanpa kupanggil lebih dulu.
"Loh, kok, belum rias?" tanyaku bingung menyaksikan performanya yang cuman berkaus lengan pendek dan kenakan rok hitam sepaha, dengan rambut lempeng terurai.
Sebetulnya saya tidak menyukai gadis kelas satu SMA itu. Saya cuman tergoda dengan badannya yang cukup berisi, benar-benar menarik pemuda normal sepertiku.
Dia memang elok, dan cukup banyak anak sekolah yang tembak, tapi untungnya, ketampanan mukaku kemungkinan yang membuat menerimaku sebagai kekasih.
Bahkan juga, semenjak 3 bulan jadi kekasihnya, saya beberapa kali sudah memperoleh bibirnya di toilet sekolah. Ah, tempatnya benar-benar sangat memuakkan, tapi sesudah ini, saya akan memperoleh lebih dari bibirnya, tidak lagi di toilet sekolah yang berbau, tetapi pada tempat pendakian, Gunung Arjuno. Dengan latar pegunungan yang cantik, itu tentu benar-benar membahagiakan dan mendebarkan.
"Yang..., " panggilnya manja. Saya bangun dari motor karena dia menggeret lenganku.
Evan dan Bimo bermain dengan handphonenya, mungkin makin sebal. Sementara saya ikuti cara Cindy, ke samping dinding halaman.
"Yang, saya tidak jadi turut," akunya mendadak, membuatku sedikit sedih.
"Loh, mengapa? Kok tiba-tiba?"
Dengan muka cemberut, dia memegang kancing bajuku yang terbungkus jaket kulit dengan resleting menganga, lalu menjawab, "Mia tidak jadi turut, ucapnya ada masalah. Masak iya saya cewek sendiri?"
"Hmm.... " Saya mendesah, sambil menciumi ujung rambut panjangnya yang harum.
"Mengapa jika cewek sendiri? Kamu takut diapa-apain? Kan, ada saya!" seruku menekan.
"Tidak, ah. Lain waktu saja!" tolaknya bersikeras. Saya sedikit kecewa, karena gagasan kesenanganku dengannya nyaris dapat ditegaskan tidak berhasil.
Saya mendesah kembali, tidak dapat habiskan beberapa waktu cuman untuk merayu Cindy. Apa lagi Bimo dan Evan, kemungkinan telah kepalang sebal.
"Kamu getho, dech. Ya sudah, ah." Bawa sebal, saya mengambil langkah menjauh, tapi sebagai tukar, saya harus mendapatkan suatu hal darinya, sedikit saja.
"Sun dahulu jika demikian!" pintaku membalik tubuh, sekalian dekatkan muka ke wajahnya. Dia terkekeh, tapi membalasnya dengan jentikan jari.
Ah, semakin bersusun rasa sebal ini.
Dia menyaksikan dengan mata memikat, ke arahku yang sebal memacu motor. Lalu dia mengangkat tangan, dan cuman meneriaki 'hati-hati', menemani cara kami bertiga, ke arah Gunung Arjuno dengan semua keelokan alamnya.
Mungkin, perkataan 'hati-hati' dari Cindy, ialah kalimat paling akhir yang kudengar dari bibir cantiknya.
___o0o___
Jam 10 siang, kami baru sampai di titik pendakian pertama, di Wonosari.
Kami memarkirkan motor di lokasi yang ada, selanjutnya lakukan register, bayar ticket masuk.
"Halo.... " Saya menjawab telephone dari Cindy yang baru masuk. Entahlah, dia berbicara apa. Keadaan signal yang buruk membuat pembicaraan kami sedikit terusik. Tetapi, kupastikan argumen dia menghubungi ialah karena menyesal karena batal turut.
Kulirik Bimo dan Evan terlibat perbincangan dengan petugas yang ada, tapi saya asyik layani Cindy di seberang sana.
Jam 10 melalui, kami baru memulai lakukan pendakian, ke arah pos selanjutnya.
"Matikan sajalah teleponmu itu, Di!" Evan mengingati. Saya taat, karena panorama kebun teh cukup mengubah perhatian. Hijau dan sejuk sekali.
Siang cuaca cukup terik, dengan hidangan alam memikat. Gumpalan awan putih bak kapas bersih, menambahkan daya tarik eloknya.
Saya belum berasa capek, begitu juga rekan-rekan yang terlihat senang.
Sekitaran dua jam 1/2, kami baru mengalahkan pos ke dua, Pos Lincing. Kami berjumpa beberapa pendaki yang lain baru turun, dengan muka capek, tapi terlihat senang.
"Istirahat dahulu, donk! Capek, nih." Evan mulai mengeluhkan. Dia berjongkok di bawah pohon rambutan sambil keluarkan botol berisi air putih. Dia teguk setengah.
Aku juga stop, ternyata keringat mulai deras membasahi. Buka tas punggung, tapi tidak mendapati botol air putih. Apes. Saya menepuk dahi, karena ibu jadi lupa bawa air.
"Nih!" Berbaik hati Bimo memberikan botolnya. Saya raih sedikit kecewa.
"Ya telah, yok, ah! Terburu sore!" mengajak Bimo.
"Yuk!" jawabku sepakat, diikuti Evan yang terbirit ikuti.
Kulirik jam yang memutari tangan, jam 1/2 tiga, dan kami baru sampai Mahapena, pos ke tiga dengan hidangan sabana yang raya.
"Woooy, ini sangat indah.... " Saya melonjak-lonjak kegirangan sekalian melompat-lompat, dan sepoi-sepoi angin sapu peluh yang keluar di pelipis.
Evan dan Bimo juga begitu, berbahagia bukan main. Kehidupan kota sudah membuat sabana ini ibarat surga dunia.
"Photo dahulu, yok!" mengajak Bimo sambil keluarkan smartphone. Kami berfoto sesaat, lalu mengupload ke sosial media.
"Eh, Van, style fotomu selalu angkat dua jemari, ya. Basi sekali," ejekku membuat mukanya menurun saat itu juga. Mulutnya bergerak, seperti akan membalasnya, tapi malas.
Tidak ada satu juga dari 2 temanku ini yang berani menentang tuduhan atau serapah burukku. Bahkan juga, satu sekolah takut padaku. Prestasi yang lain membuat Cindy kalah dalam dekapanku.
"Ah, telah, telah! Mari jalan kembali!" potong Bimo mengatasi.
Situasi jadi berbeda. Evan sedikit dingin saat ini, tapi, mana saya perduli? Bodoh sangat.
"Paling sesaat lagi ia nangis karena kepeleset," gumamku sinis dalam hati, saat melalui track berbatu yang berhias lumut.
"Jancuk!" makiku keras. Dua rekanan sependakian selekasnya stop merapat. Bukan Evan, tapi malah saya yang hampir nahas, karena tanah berlumut yang licin.
Untung batang kuat sebuah pohon menolongku selamat.
"Berhati-hati, donk, Di!" anjuran Evan dengan muka meredam senyuman. Ini menjadi peluang baginya membalasnya sakit hati.
Bimo mengulurkan tangan, menolongku beberapa langkah bersejajar dengannya. Dan perjalanan kembali diteruskan.
Semburat surya jingga menebar di ufuk barat. Senja selekasnya tenggelam, berpindah gelap. Keelokan sangat jarang yang baru kami cicipi sesudah tempuh perjalanan yang cukup meletihkan.
"Sesudah ini kita sampai di Cemoro Sewu, atau Alas Lali Jiwo," mahir Bimo yang paling hafal track dan lajur.
"Memang ini ingin dilanjut sampai pucuk Ogal Agil? Percaya?" bertanya Evan cari kayakinan, membuatku dan Bimo stop sesaat, memandang Evan yang terlihat ragu.
"Ah, cemen lu. Laki apa banci, sich?" ejekku sukses mencipta desah sebal Evan.
"Telah, . Kalian ini ribut mulu. Kita pasang headlamp, yok!"
Dengan cekatan headlamp masing-masing telah dipasang prima di kepala. Ada jelas dalam gelap, seperti sinar kunang-kunang dalam gulita makam.
Kedengar suara sebagian orang terlibat perbincangan, beberapa pendaki yang kelihatannya mulai menuruni medan pendakian.
"Tuch, di atas, di pucuk tentu beberapa orang. Kita buat tenda di situ kelak. Menginap!" tantangku penuh optimis, lalu kembali mengambil langkah dengan tentu.
"Tetapi kata beberapa orang Alas Lali Jiwo menyeramkan." Evan bergumam, jalannya berat.
Tanganku melambai-lambai, "eleh. Kamu takut salah jalan? Zaman digital jenis ini hari masih yakin begituan."
Gelap terwujud. Sepoi-sepoi angin membuat badan sedikit menggigil, walau sudah terbungkus jaket cukup tebal.
Bintang bertabur cantik di atas sana. Membuat rasi yang tidak kumengerti.
Ini pendakian yang cukup ngotot. Entahlah, bagaimana kami dapat segila ini.
Di muka, terang rimba dengan teritori disanggupi pohon cemara, bak raksasa takabur dalam gulita. Berikut yang disebutkan Alas Lali Jiwo, yang menurut beberapa orang menyeramkan, bahkan juga jadi argumen ibu menahanku barusan. Beberapa larangan pantang dilanggar, bila ingin selamat dari keangkerannya. Tetapi, saya tidak yakin.
Dengan berhati-hati kami mengambil langkah. Sebetulnya, memang lumayan menakutkan, gelap dan mengerikan. Tidak itu saja, jujur, perasaan takut mulai menjelajahiku. Tapi untuk perkataan takabur yang telanjur keluar...
Ah, saya kepingin pipis!
"Bim, turun, yok! Saya takut." Betul, Evan benar-benar takut. Badannya bergetar. Kusaksikan Bimo juga begitu.
"Kalian pengecut!" ejekku sambil meredam kemauan berhajat.
Saya minggir ke pinggir, samping sebuah pohon cemara yang tinggi, untuk melepaskan hajat yang tidak lagi ketahan. Tanpa pernah kutahu, Bimo dan Evan, entahlah telah berada di mana.
Karena, selesai tutup resleting celana, saat kembali, jantungku mencelos, terkejut bukan main. Bukan Evan atau Bimo yang ada, tetapi...
"Cindy?"
Benar-benar. Saya benar-benar kaget. Jantungku berdegap kuat. Untuk argumen keterkejutan yang mengagumkan.
Saya tidak menduga, bagaimana Cindy mendadak berada di sini? Dengan pakaian yang serupa seperti tadi pagi dia gunakan. Seksi dan memikat.
"Kamu? Bagaimana dapat di sini?" Saya sebetulnya takut, dan memulai berpikiran yang bukan, tapi coba tenang dan berpikiran, kemungkinan Cindy memang punya niat susul. Dia barusan menghubungiku, kan?
"Ke mana Bimo dan Evan?" Saya mengedarkan pandang, tapi Cindy benar-benar tidak mulai bicara. Dia bungkam seribu bahasa, dengan muka menakutkan, pucat pasi, tapi masih tetap memikat.
Ah, ini situasi yang akurat. Kami, cuman berdua.
Saya melepaskan tas punggung, menjatuhkannya sembarangan, lalu, dekatkan muka, ke muka lainnya, pacarku.
Tidak sabar ingin kulumat bibir itu, lalu, melepaskan semua keinginan yang berkobar-kobar. Tetapi, saat muka kami sangat dekat, dan bibir kami hampir berjumpa, dia mundur. Jalan menjauh. Entahlah akan ke mana, tapi saya mengikuti.
"Ingin ke mana? Eh, ingin di mana?" godaku tidak mendapatkan balasan. Dia terus jalan ke rimba cemara yang lebat, dengan rumput liar di sana-sini. Tiap depa jalannya selalu tinggalkan berbau aneh, tidak seperti wangi parfumnya yang telah hidungku hafal, tapi, seperti berbau anyir, dan amis.
Aneh sekali.
Saya terus memburu, coba raih tangannya dan mencumbu selekasnya, tapi....
"C-Cin-Cindy.... "
Saya baru sadar, saat mataku turun menyelisik ke bawah, dia jalan tanpa bertumpu di atas tanah. Saat itu juga bulu-bulu kuduk berdiri prima. Bergetar dada, lemas semua badan.
Dia bukan Cindy. Bukan. Saya mundur, batal ikuti tapak jejaknya. Tetiba ingat bacaan Fatihah, Ayat Bangku, dan ayat-ayat yang sering ibu lantunkan, tapi, bibirku kelu, otakku lumpuh, daya ingatku kosong. Langkahku berat, tidak pahami harus ke mana. Tidak sadar jika saya cuman berputar di teritori yang masih sama.
"Aarrggh.... " Saya jatuh, terjatuh di semak. Mendekap sekaligus di situ, meredam takut.
Dalam jatuh, air mataku berlinang. Dalam gelap, kusaksikan bayang-bayang putih dengan rambut panjang di situ, di samping sebuah pohon cemara.
Pahaku bergetar luar biasa. Juga bibir ini, yang dirasa sekelu mungkin.
Kudengar ramai suara orang, ingin teriak meminta bantuan, tapi tidak dapat. Apalagi, beberapa suara itu tanpa rupa. Di sana-sini cuman gulita, dan headlamp yang kukenakan telah hilang entahlah di mana.
"Bu... Ibu... Saya takut." Di tengah-tengah otak yang lumpuh, saya menyesal sudah meremehkan ibu.
"Bimo... Ervan.... " Antara air mata yang berderai dan keringat dingin yang bercucuran, saya terpikir ke-2 nya. Oh, saya sudah menyepelekan mereka barusan.
Tidak terhitung rasa sesal itu, sama dengan perasaan takut yang menimpa. Karena, bayang-bayang putih dalam hitam, dengan rambut tergerai panjang yang menakutkan, saya rasa dia merapat.
Ya, dia merapat. Bersamaan degup jantung yang berlomba cepat.
Comments
Post a Comment