Saya, sebutlah Jen. Saya masih ingat benar waktu pertama ayah dan ibu beli rumah di satu diantaranya komplek di Bekasi ini. Berada pada Pondok Besar - Jatiasih, perumahan ini acapkali alami banjir. Bertanya-tanyanya, ayah dan ibu senang sekali dikarenakan cuma rumah ini yang dapat terjangkau dengan keuangan mereka. Dan itu tahun 1996. Saya masih duduk di kursi 2 SMP, saat ini dibilangnya kelas 8, dan harus tinggalkan sekolahku di Jakarta buat berpindah ke Kota Patriot ini.
Komplek yang menurutku mengesalkan. Nggak mempunyai tetangga, donk! Ada sich tetapi cuma sejumlah rumah saja. Namanya komplek, perumahannya sama sama senderan seperti remaja baru sekali jadian. Ada yang pada sisi depan. Wajar, perumahan bank negara tersebut, lho. Melihat bangunannya, bisa lebih banyak yang dikorupsi dibandingkan dengan dipakai. Dinding rumahku dapat dipretelin dengan sangat simpelnya kalaupun kita mempunyai kuku panjang. Ah elah, Bu, mengapa harus di sini sich? Saya protes.
Tetapi itu sebelumnya. Hingga selanjutnya saya yang senang eksploitasi tempat mendapati lapangan yang asyik sekali buat berkegiatan ala mountain bike. Tanahnya merah dan ada batu-batuannya. Wuih, utamanya asyik dech . Maka, komplek perumahan ini punyai tetangga daerah yang terletak naik. Sumpah sedap sekali ke situ, cuma lebih kurang 15 menit dari rumahku dengan naik sepeda. Auto habis sekolah akan senang sekali dalam tempat itu.
Dan, pekerjaanku tiap-tiap hari memanglah naik sepeda keliling komplek pula, lalu ke tanah lega, lalu komplek perumahan kembali. Demikian terus hingga tukang bubur tuntas naik haji. Senyuman-senyum tipis sama tetangga. Saya diketahui banyak 'bacod' alias sering basa-basi sama mereka. Calon emak-emak ye, kan. Tetapi cuma ada satu tetangga yang tidak kusaksikan. Tetangga dalam rumah nomor 13, yang terletak tepat ada di belakang rumahku.
Yang kudengar rumah itu ditinggali orang wanita yang benar-benar tidak keluar dari rumah. Cuekin saja lah. Tapi beberapa insiden penting maha luar biasa yang selanjutnya bikin saya terus trauma kalau mengingatnya. Ingat wanita itu dengan semua keajaiban yang menancap dalam pikiranku sampai saat ini umurku nyaris kepala 4. Tidak dapat sesederhana itu kulupakan.
Comments
Post a Comment