Tiga bocah di dapur
Saya pernah dengar sich, ujarnya kalaupun wanita jalan membungkuk dan tangannya dilipat ke belakang seperti menggendong suatu hal itu, sesungguhnya tengah menggendong makhluk tidak kasar mata yang berbentuk Tuyul. Benar atau mungkin tidak, saya tidak tahu.
Bumer-ku kok demikian, apa ia tengah menggendong Tuyul pula? Entahlah lah, kepalaku geleng-geleng sendiri. Tidak akan mungkin Bumer miara Tuyul, orang Almarhumah Suaminya saja bertitel Haji.
Hingga sampai rumah, lekas saya bersihkan diri, lalu mengolah buat makan malam. Mendekati maghrib, Ibu dan Mas Yudi baru masuk ke rumah. Mereka terus ketujuan kamar privat. Mataku memperhatikan. Sesungguhnya, kamar itu didalamnya apa sich, jadi ingin tahu saya.
Kembali asyik menggoreng telor, Mbak Wuri ada, ia ambil cangkir dan bikin teh manis. Saya menengok, kuamati tulang berbalut kulit ini. Setdah! Kurusnya...
"Mbak, sakit, ya?" Tanyaku. Mbak Wuri geleng-geleng, tetapi, tidak menatapku.
"Jadi kurus lho," ujarku sekalian mencapai piring dari rack. Mbak Wuri tidak menjawab, digenggamnya cangkir teh kuat. Netraku melirik. Mbak Wuri seolah sedang pikir suatu hal.sebuah hal.
"Oh iya, Mbak..." Saya memutar badanku menghadap Istri kakak iparku ini. "Kalaupun malam Jum'at itu, Mbak diterapi apa sama Ibu? Kok kayaknya sakit sekali begitu?" Tanyaku polos. Bikin Mbak Wuri terkejut dan terhenyak.
"K_kamu melihat?" Tanyanya lambat, bola mata Mbak Wuri bergerak memperhatikan lebih kurang.
"Tak!" Jawabku cepat.
"Lalu, mengapa kau dapat bicara demikian?" Berbisik Mbak Wuri.
"Masa itu, saya serasi melalui, jadi dengar suaramu." Kutatap netra Mbak Wuri sekalian kuanggukkan kepalaku.
Hhhh, Mbak Wuri menghela napas. Kembali termenung.
"Memanglah sakit," jawab Mbak Wuri lambat. Tidak sadar, ia menyeka buah dadanya.
"Kalaupun sakit, mengapa tidak memohon stop, Mbak?" Kuambil beberapa piring dan kubawa jalan ke meja makan. Sehabis merapikan piring, saya balik ke dapur. Mbak Wuri tetap berdiri disamping rack piring.
"Kalaupun saya jadi Mbak, saya tak ingin diterapi, manalagi kalaupun sakit." Kuteruskan mengobrol, meskipun tanganku repot menyediakan makanan.
"K_karena saya udah terlilit kesepakatan..." Mbak Wuri bergumam. Saya menengok, keningku mengerut dalam. Kesepakatan apa?
"Kesepakatan sama siapa, Mbak?"
Bukan menjawab, Mbak Wuri jadi memandang dalam manik bola mataku. Tujuannya apa ya?
"Ekhemm!"
Nada Mas Yudi yang berdehem menyudahi percakapan dengan sama-sama menantu ini. Kutinggalkan Mbak Wuri dan siap-siap panggil Bumer dan Suamiku tercinta, untuk makan malam.
Seperti biasanya, Bumer terus tersisa makanannya selesai makan malam. Saya memandang di piringnya ada nasi, tersisa sayur, sama telor.
"Ini, gak boleh dibuang, Rin. Simpan saja di dapur." Kata Mertuaku sekalian beringsut.
"Ya, bu." Anggukku. Kuangkat seluruh piring ke belakang serta mulai membasuh. Sekalian nyuci piring, saya menanyakan dalam pikirku. Kesepakatan apa yang udah disetujui Mbak Wuri sama Ibu, maka dari itu ia tidak dapat menampik terapis? Pula terapis itu kayak apakah, seperti sangatlah menyakitkan. Kalaupun saya, terang tak ingin. Namun juga, kalaupun tubuhku sekurus Mbak Wuri, nyata Mas Harun dapat membawaku ke Dokter. Tidak kek Mas Yudi, diem bae istrinya kurang nutrisi!
Eh! Lupa saya!
Mengapa tersisa makanan Ibu saya buang dan piringnya saya basuh? Bagaimana ini? Kuusap parasku dengan kasar. Hihh, dapat dicerca Ibu kelak! Tetapi, telah terburu.
Kusaksikan, seluruhnya orang udah masuk kamar. Minimal ada yang ingat. Kucuci tanganku dan lekas masuk kamar. Mas Harun udah melar. Mudah-mudahan lainnya juga. Kuambil selimut dan ikut-ikutan melar.
Ting! klunting klunting!
Nada nada aneh di dapur membuatku terbangun. Kupasang telinga baik.
Ting ting klutek!
Macam ada orang di dapur. Nada ramainya kedengar seperti gelas, piring dan sendok yang beradu. Siapa ya, malam-malam masak? Ada yang kelaparan apa yak?
Saya yang umum terjaga di sepertiga malam bergerak keluar. Jalan ketujuan dapur. Keadaan rumah sepi sekali, lampu udah dimatikan.
Saat hingga sampai ruangan makan penting, saya menyudahi cara. Kulkas yang dipojok dapur, pintunya terbuka setengah, sampai sinar lampunya keluar. Kurang lebih, saya dapat memandang keadaan dapur.
Bukan itu yang membuatku bergidik. Netraku tangkap beberapa pribadi bocah kecil dari sana. Mereka kecil, segede bayi dipekeh begitu. Ada tiga bocah, dua gundul dan satu punya rambut ijuk (kaku ke atas), dua biji! Semua pakai popok kusam.
Glek! Mulutku terkunci, tidak dapat berteriak. Mataku lagi memperhatikan mereka disini.
Ke-3 bocah itu, bergerak, berlarian di dapur. Satu duduk di atas kompor, kakinya menyepak-nendang. Satu kembali di atas kulkas, kepalanya melihat ke kulkas dengan status kebalik!
Satu kembali, di mana?! Bola mataku berputar-putar cari.
Astaga! Itu ia!
Satu bocah kembali, kepalanya masuk majikom!
Nyam nyamnyam nyam nyam
Ia kembali makan nasi tersisa!
Hihhh, geli!!
Comments
Post a Comment