"Arggghhh! Mas! Sakit, Mas!"
"Auhh! Maaasss!"
"Mas Adam!"
"Sakiitt!" teriak istriku dari dalam.
"Ya Allah, Sofia. Apa saat ini waktunya?" Saya yang sekarang ini sedang membersihkan baju ada di belakang rumah melemparkan demikian saja sepotong pakaian pada tanganku.
"Mas! Aaahhh!" teriak Sofia kembali. Hatiku mulai cemas. Secepat mungkin kubilas tangan sama air bersih dan selekasnya mendatanginya.
"Ada apakah, Dik? Telah saatnya?" tanyaku kuatir. Benar-benar pertanyaan yang tidak bermanfaat.
Tanpa menanti jawaban darinya, saya segera ambil beberapa barang kepentingan melahirkan yang telah dipersiapkan.
"Mas! Saya sudah tidak kuat. Rasanya sakit sekali." Wanita itu terus mendesah. Keringat dingin mengucurkan deras di dahi dan pelipis. Bibirnya sedikit pucat, matanya demikian capek. Dahinya berkerut, kemungkinan dia meredam sakit yang mengagumkan.
"Sabar ya, Dik. Mari mas tolong naik." Kupapah badannya masuk ke mobil.
Sofia masih berteriak kesakitan. Sementara saya telah memicu mobil dengan kecepatan yang cukup. Kadang-kadang kuusap keringat yang mengalir di mukanya memakai satu tangan.
"Mas, sakit sekali. Ya Allah...."
"Sabar, Dik. nanti kembali sampai kok." Kucoba untuk menenangkannya.
"Ya Allah, Mas...."
"Iya, Dik. Sabar...." Rasanya tidak sampai hati menyaksikannya semacam itu. Ingin sekali memicu mobil dengan kecepatan tinggi, tetapi saya takut membuat makin kesakitan karena guncangan yang kuat. Mahfum, karena jalanan ke arah rumah sakit paling dekat mengalami pembaruan. Mau tak mau melalui jalan alternative yang dibuat dari batu-batuan.
"Mas! Sakit...." rengeknya kembali.
"Iya Sayang, kita sudah sampai."
Suster secara cepat responsif menolongku mengalihkan badan Sofia dari mobil ke bangku roda. Sesudahnya dia diangkat ke atas brankar, selanjutnya dibawa masuk ke ruangan khusus untuk melahirkan.
Saya 1/2 lari ikuti sambil terus memegang tangan Sofia.
Seorang dokter masuk dan langsung memeriksa kondisi Sofia.
"Belum membuka. Kelihatannya harus menanti. Tidak ada pertanda sama sekalipun. " Dokter mengungkapkan kondisi Sofia.
"Mustahil, Dok. Istri saya sangat kesakitan. Bagaimanakah mungkin belum waktunya," omelku tidak terima. Selainnya tidak sampai hati menyaksikan Sofia yang paling kesakitan, saya tidak sabar menunggu kelahiran bayi yang telah kami tunggu-tunggu sepanjang 7 tahun lama waktunya.
"Memanglah belum waktunya, Pak."
"Tetapi, Dok. Bagaimana dapat? Istri saya sangat kesakitan demikian."
"Sesaat, kami akan mengeceknya selanjutnya." Dokter itu minta salah seorang suster untuk mempersiapkan satu alat.
"Alat itu, buat apa Dok?" tanyaku ingin tahu.
"USG Pak. Kita harus memeriksa bagaimana kondisi bayi dalam kandungan istri Bapak."
"Tidak. Saya tidak mengizinkan istri saya lakukan USG. Tidak," ucapku cepat.
"Maaf, Pak. Ini harus dilaksanakan. Bila tidak, kami tidak ketahui apa yang perlu dilaksanakan. Cemas, Ibu Sofia memperoleh pengatasan yang tidak pas," terang Dokter itu sabar. Tetapi tetap, saya jangan mengizinkan mereka lakukan USG. Saya tidak ingin mereka menyaksikan bayiku.
Sepanjang kehamilan Sofia, kami tak pernah memeriksakan ke Dokter. Kami bahkan juga merahasiakannya, karenanya ialah ketentuan yang diberi oleh orang punyai yang kami kunjungi. Bahkan juga untuk kelahiran bayi yang dia kandungan, mereka larang kami minta kontribusi siapa saja. Tetapi saya benar-benar tidak sampai hati menyaksikan Sofia yang tetap kesakitan.
"Tidak boleh di-USG, Dok," cegahku kembali.
"Tetapi, Pak."
"Mas, saya sudah tidak kuat. Rasanya sakit sekali." Sofia menitikkan setetes air mata di pipinya.
"Baik, Dok. Silakan."
Dokter itu bernapas lega sesudah kuijinkan mengecek Sofia dengan alat itu. Dalam hati saya cuman mengharap, mudah-mudahan tidak ada hal jelek pada Sofia dan bayi di rahimnya karena sudah menyalahi persetujuan orang pandai.
"Astaghfirullah...." Dokter itu kaget menatapku.
"Ada apakah, Dok? Bayi saya baik saja kan?" tanyaku cemas. Sementara Sofia cuman memandang datar.
"Ra-rahim istri Bapak kosong. Tidak ada bayi didalamnya." Dokter itu gemetaran.
Sementara saya, rasanya telah seperti disikat listrik saja. Mengagetkan.
"Tidak mungkin. Perut sebesar itu mustahil kosong. Istriku hamil, tidak mungkin rahimnya kosong," protesku tidak terima.
"Alatnya tentu hancur!" tambahku kembali.
"Tidak, Pak. Alatnya masih bagus, barusan barusan digunakan untuk memeriksa pasien lain."
"Tidak! Tidak mungkin. Rahimnya mustahil kosong."
'Ya Tuhan, di mana bayiku....'
Comments
Post a Comment