Yani... Suryani. Ya, saya tidak salah saksikan. Gadis itu duduk di samping Mbok Darmi dengan rambut berantakan. Keadaannya seperti sama kali terakhir kusaksikan, tulang pipi mencolok dan matanya yang cengkung penuh lingkaran hitam. Ia nampak demikian jelek.
Ia melihat tajam ke arahku, dengan bibir tersenyum menyeringai.
"Pel*cur!" Meskipun ia tidak bernada, akan tetapi saya sangat percaya bibirnya menggumamkan kata itu.
Tiba-tiba saya berteriak sekuat mungkin. Badanku mulai gemetaran. Detik lantas Mas Ipul masuk dengan tergopoh-gopoh.
"Ros, hei ada apakah? " Mas Ipul sentuh ke-2 bahuku. Ia nampak demikian was-was.
Tiada menengok, saya menunjuk tempat di mana Suryani baru saja kusaksikan. Di samping Mbok Darmi.
"Gak ada siapapun juga di sini. Cuman ada Mbok." Suara berat Mbok Darmi menyahuti.
Dengan sedikit kuatir kuangkat kepala, memandang Mbok Darmi yang saat ini cuman duduk sendiri. Meski sebenarnya nyata-nyata barusan kusaksikan ada Yani dari sana. Mustahil saya salah.
Argh! Saya benar-benar rusuh ini hari.
"Telah, ya. Gak papah kemungkinan kamu cuman khayalan," papar Mas Ipul mengelus punggungku.
Ia memanduku buat duduk. Rumah Mbok Darmi ini sangatlah simpel. Tiada sofa. Kami duduk lesehan di lantai ubin yang dibalut karpet kasar.
"Mengapa?" bertanya Mbok Darmi datar.
"Mbok, saya pengen berbicara. Mengapa Mbok omong sama orang-tua Yani dan Mas Ipul siapa pelaksananya. Tidakkah dalam persetujuan Mbok sependapat buat rahasiakan nama kita berdua?" ujarku tiada basa-basi. Saya mulai kepancing emosi dengan wanita tua ini.
"Lantaran saya mendapat duit!" sahutnya tiada berasa bersalah.
"Hah? Kan kami pula bayar, Mbok!" protesku.
"Biarlah, tenang saja. Mbok gak dapat bedah pada siapa-siapa saja. Percayakan pada Mbok."
"Ungkapkan bagaimana saya dapat meyakini Mbok sehabis Mbok memberikan bocoran ini ke orang tua Mas Ipul!" Suara suaraku mulai sedikit meninggi. Mas Ipul memperingatkanku selalu untuk bersabar.
"Ini jaminannya!" Mbok Darmi keluarkan suatu paku berkarat dari dalam topeles. Tapi, meskipun telah berkarat, paku itu selalu cemerlang. Lumayan besar dari ukuran paku rata-rata.
Saya memicingkan mata. "Apakah yang dimaksud?"
"Paku. Nyawaku berada pada dalam paku ini," sahutnya sambil memandang paku itu lengket.
Saya kian kebingungan. Kuiyakan saja perkataannya. Saya tidak sabar buat lekas jalanan.
"Kami pamit, Mbok. Soal kita telah usai. Terima kasih atas bantuan Mbok, dan ingat pengucapan kami baru saja, Mbok!" pamitku saat sebelum lantas tinggalkan wanita tua itu.
***
Sehabis sepanjang hari jalanan, kami pulang saat hari telah mendekati maghrib. Seperti biasanya, saya turun di simpangan dan pulang lebih dahulu. Sesudah sampai rumah, kukirimkan pesan terhadap Mas Ipul. Baru ia pulang.
Lantaran tak mungkin kalau kita jalan bersamaan. Buat ketujuan rumah, kami harus melalui masjid kampung yang ramai orang. Manalagi mendekati maghrib berikut.
Barusan merebahkan tubuh, smartphoneku berdering. Kuangkat dengan malas tiada memandang nama sang penelepon. Benar-benar saya mau istirahat sekarang.
"Ya, halo?" sapaku malas.
"IPUL AKAN MATI! KALIAN BERDUA MATI!"
Tiba-tiba saya bangun dari status rebah. Kusaksikan nama pengirim yang rupanya Mas Ipul. Tapi, suara berat di seberang telephone baru saja saya sangat percaya bukan Mas Ipul. Itu suara wanita.
Kututup panggilan tiada menjawab apa saja. Lantas melenepon Mas Ipul kembali. Dengan hati bergelora kutunggu ia menjawab panggilanku.
Ini kali saya tidak salah dengar. Tidak lagi khayalan. Tapi serius riil. Ada yang mengacauku.
"Halo, Sayang? Saya telah dalam rumah. Ada apakah? " Suara Mas Ipul kedengar biasa-biasa saja.
"Barusan kamu telephone saya?" tanyaku berbisik.
"Tak. Tetapi tidak tahu bila kepencet serasi di jalan."
Kalaupun kepencet lantas mustahil ada suara wanita. Manalagi meneror kami.
"Tak, Mas. Bukan kepencet. Baru saja ada panggilan dari kamu, saat kuangkat, yang berbicara orang wanita. Ia omong kita berdua dapat mati," tuturku panjang. Saya berkata itu sambil memperhatikan kiri dan kanan. Manalagi ini waktu maghrib, waktu di mana makhluk lembut berkeliaran.
"Hah? Gak mungkinlah, Ros. Saya benar-benar baru hingga sampai rumah. Smartphoneku dalam tas," sahut Mas Ipul. Kayaknya ia menyangsikan perkataanku.
"Berusaha lihat log panggilan," pintaku.
"Sekejap!"
Sehabis sekejap, Mas Ipul bernada. "Lah, iya betul. Di jam 17.20 panggilan tersambung sepanjang 15 detik," tangkisnya shock.
Saya menyurai rambut dengan kasar, ciri khas seorang di saat was-was.
"Saya tutup dahulu teleponnya, Mas. Pengen shalat," ujarku lalu tutup panggilan.
Ada apakah dengan ini hari! Saya benar-benar frustrasi.
Tengah sholat, di saat rakaat ke-2 , focusku mulai bubar. Hatiku jadi tidak sedap. Saya berasa ada yang perhatikan, atau juga ikuti pergerakan shalatku berada di belakang.
Di rakaat paling akhir, di saat duduk tahiyat akhir, saya berkemauan kuat menelusuri cermin kecil yang menyandarkan di lampu tidur, yang berada di nakas. Statusku sholat di muka nakas samping tempat tidur.
Allah!
Sehabis salam, saya lari sekencang kemungkinan ke kamar Mbah Sugi. Bagaimana tak. Dalam refleksi cermin, saya memandang setengah muka Suryani melotot ke arahku dengan pupil yang jadi kecil. Saya cuman memandang setengah mukanya, lantaran status cermin memang tidaklah serasi.
Ya, Allah, ampuni saya!
Saya masuk ke kamar Mbah Sugi tiada izin. Kutemukan Mbah Sugi dalam sikap duduk pakai mukena mengarah barat. Ia tengah bermunajat.
Saya menghambur ke dekapan Mbah Sugi. "Mbah, Yani, Mbah! Ia usik saya lagi, Mbah!" aduku pada Mbah Sugi. Saya mulai terisak. Benar-benar saya ketakutan. Mentalku tak baik saja kalau tiada henti diteror sebagai berikut.
Tapi, tiada tanggapan dari Mbah Sugi. Tidak seperti yang umum ia laksanakan.
Deg! Saya ingat suatu hal.sebuah hal.
Dengan kuatir, kuangkat kepala menatapnya.
Suryani melotot ke arahku sampai bola matanya nyaris keluar. Saya diam terdiam, tidak dapat mengolah apa yang berlangsung.
Detik selanjutnya, pribadi di hadapanku yang cuman punya jarak beberapa inch itu menyeringai sampai bibirnya robek menggapai daun telinga.
Comments
Post a Comment