Melalui lubang pintu yang paling kecil dan sedikit berdebu, kuintip gelapnya rumah punya tetangga baruku di seberang jalan dekat rel kereta api.
Rumah ini sering ditinggalkan pergi penghuninya. Tiada dikasih pencahayaan, lantas didiamkan kotor gak terurus. Cuman beberapa kemungkinan dalam 1 bulan paling akhir, saya memandang orang wanita muda dan anaknya yang berumur lebih kurang tujuh tahunan ada kesini. Mungkin cuma untuk menegaskan beberapa barang di tempat tinggalnya masih komplet. Ada siang dan sorenya mereka telah pergi kembali.
Sehabis menegaskan tiada orang di, seperti biasanya saya buka paksakan pintu rumah gunakan kawat kecil yang kuambil dari gudang belakang rumahku.
Gak dibutuhkan waktu yang lama, pintu terbuka dan saya telah berada pada dapur rumah mereka. Saya menggemari dapur ini. Luas. Dengan sedikit perlengkapan didalamnya. Tapi tidak tahu mengapa, pisau di sini sangatlah komplet. Kayaknya sang Pemilik senang mengolah. Banyak type pisau berjajar rapi di kotak penyimpanan privat. Serius rapi dan mengkilat.
Tidak sama dengan situasi rumah di mana debu melekat cukup tebal di banyak pojok. Kadang-kadang saya mesti berusaha susah payah membatasi biar tidak batuk atau bersin karena debu ini. Sedikit menjengkelkan memanglah. Tetapi terkecuali itu, saya senang berada pada dapur ini. Benar-benar.
Ah, karena sangat senangnya saya dapat berada pada dapur ini kembali sehabis 1 bulan lebih diam diri di dalam rumah kumuhku, saya jadi lupa dengan karung yang kubawa barusan. Suatu karung goni lumayan besar lagi bergerak dalam bawah kakiku. Saya menyeringai, "malam hari ini akan menjadi malam yang panjang. Dan saya menggemarinya."
Saya berjongkok dari sisi karung goni. Tanganku mengelus berulangkali saat sebelum kurobek ikatan pada sisi atas karung. Gak lama menyembul kepala orang anak laki laki. Umurnya kutebak lebih kurang tujuh tahunan. Atau juga kurang, entahlah. Saya gak perduli.
Parasnya cakep. Dengan mata sembam lantaran kelamaan menangis, kurasa. Meski sebenarnya mulutnya telah kulakban, tetapi tangisnya gak pengen stop mulai sejak barusan sore. Waktu saya mendapatinya jalan sendiri di muka rumahku.
Kulit parasnya memeras, ah itu membuatku berselera. Saya kembali menyeringai.
Kududukan bocah cakep itu di atas meja dapur. Kugosok-gosok ke-2 tanganku semangat. "Saya mesti mulai dari lokasi mana, ya?" gumamku sekalian menunjuk pisau di kotak samping kananku.
Kutatap rekat muka sang Bocah. Matanya lagi menatapku sayu. Meminta untuk dilepaskan bisa saja. Entahlah, saya selalu gak perduli.
Saya mulai berdendang. Dengan oke, kuambil suatu pisau besar. Pisau daging. Kuayunkan pisau itu ke leher sang Bocah Cakep yang telah kubaringkan di meja dapur lima menit yang lalu dengan tangan masih terlilit.
Craashh...!
Sekali babat, kepala itu terlepas dari lehernya. Saya terkikik bahagia. Darah muncrat ke seluruhnya tempat. Lantas dengan baju putih dan mukaku. Seluruh gak lolos dari cipratan darah segarnya.
Rasanya benar-benar nikmat. Saya lagi berdendang. Tanganku mulai potong badan kecil yang beratnya kutaksir gak lebih pada 30 kg itu jadi 11 sisi. Semasing tangan empat potong, kaki empat potong, dan tubuhnya jadi tiga potong. Sebelumnya setelah kukeluarkan joroan sang Bocah Cakep lebih dahulu.
Tiap sisi kumasukkan dalam plastik terpisah. Biar simpel di saat dapat mengolahnya. Usai dengan badan kecil itu, saya mulai bersihkan tempat. Mengelap dan mengepel seluruhnya lantai, meja dan tembok yang terserang cipratan darah. Pula membersihkan pisau-pisau elok yang menolong pekerjaanku barusan.
Saya ketawa bahagia memandang hasil kerjaku. Sangatlah rapi dan bersih.
Lekas saya keluar dapur itu dan balik ke rumah kumuhku. Jalanan tampak lengang. Kurapatkan jaketku, membatasi dingin angin malam. Berulangkali kereta api malam maksud luar kota melalui. Membunyikan klakson mengharap jalan. Kulambaikan tanganku mengarah kereta. Tidak tahu masinis atau penumpangnya melihatku atau mungkin tidak. Saya gak mengambil pusing. Hatiku tengah senang sekarang.
Hingga sampai di dalam rumah, kumasukkan seluruh daging termaksud kepala ke freezer.
Lagi kupandangi isi almari pendinginku. Saat sebelum ditambah lagi daging sang Bocah Cakep, aku juga sudah mempunyai stok dua kepala dan beberapa potong daging sisi paha dan dua plastik besar dalaman yang berencana saya taruh untuk stok kalau-kalau saya susah bisa buruan. Tetapi mudah-mudahan saja itu tidak ada.
Sekalian bersiul, saya berangkat ke warung depan gang. Lumayan jauh dari tempatku sekarang ini. Kusiapkan uang Rp 20 ribu manfaat beli permen dan jajan lain. Untuk kujadikan umpan kembali besok malam.
Comments
Post a Comment