Di salah satunya wilayah di Jawa Timur - ini bisa membuat kita jadi dewasa dan berdikari. Bahkan juga setelah dari acara itu, semestinya kita bawa beragam jenis pengalaman menginspirasi yang bisa kita bagi ke sama-sama kita. Namun, saya berasa kebanyakan berangan-angan untuk menginginkan hal tersebut. Karena pada realitanya, tidak dengan begitu. Tidak dengan temanku yang namanya Yudis.
Sejak pulang dari acara live-in kampus; ia jatuh sakit. Bahkan juga ia sampai harus ambil cuti kuliah sepanjang dua minggu dan harus bermalam di dalam rumah sakit. Saya tidak paham terang berkenaan penyakit yang dialami oleh Yudis. Tetapi keluarganya cuman memberitahukan jika Yudis terserang demam.
Yudis kerap menggeligis dan mengigau pada malam hari. Bahkan juga ia dapat menjerit-jerit tidak keruan dan melemparkan kalimat aneh. Pucuknya, Yudis bisa serang semuanya orang yang ada disekelilingnya secara brutal, seperti orang yang kesetanan. Menyaksikan kondisi itu, faksi dokter tidak meluluskan Yudis untuk ditinggalkan sendirian, untuk menahan berlangsungnya hal jelek.
Dengar berita itu, saya bersama salah seorang rekan dekatku - namanya Mikel - memilih untuk menjenguknya. Walau sebelumnya kami berasa sangsi, tetapi rasa kasihan dan ingin ketahui akan keadaan Yudis sudah memperkuat kemauan kami untuk menjenguknya. Akhirnya, kami cari hari yang luang, supaya kami punyai beberapa waktu saat jenguk.
Pada akhirannya, kami memilih untuk pilih hari Jum'at di saat senja sebagai hari jenguk. Persisnya sesudah kami usai kelas. Karenanya ialah agenda yang paling luang untuk kami; sebagai mahasiswa semester empat yang sibuk-sibuknya kuliah. Disamping itu, kebenaran jam kunjungan Yudis ada di sekitar jam lima sore sampai jam tujuh malam.
Tempat lokasi kost kami dengan rumah sakit Yudis cukup jauh, yakni memiliki jarak 10,6 km dan memerlukan 37 menit perjalanan. Ditambah lagi kondisi jalan raya yang padat, karena jam orang pulang kerja atau keluar jalanan untuk menyongsong akhir minggu. Untungnya Mikel memiliki sebuah motor bebek, hingga kami bisa mengirit waktu dengan ambil beberapa jalan tikus sebagai jalan alternative.
Setelah tiba di dalam rumah sakit yang berada di Jakarta Pusat. Saya menyaksikan jika rumah sakit itu seperti bangunan zaman 90-an. Namun, bangunan tersebut kelihatan lebih kekinian dibanding bangunan-bangunan sekelilingnya yang seperti terlihat bangunan zaman 60 sampai 70-an.
Sesudah Mikel memarkirkan motornya, lalu kami segera masuk ke rumah sakit - lewat pintu khusus - dan ke arah lantai tempat Yudis dirawat; sesuai info yang sudah diberi oleh orang tuanya. Sesampai kami di lantai tempat Yudis dirawat, kami segera ke arah lorong pemondokan pasien. Disitu kami berjumpa dengan ayah Yudis yang duduk di kursi lorong, seakan sedang menunggu kehadiran kami. Lalu ayah Yudis menyongsong kehadiran kami dengan hangat, dengan muka yang sembunyikan rasa duka cita.
Selanjutnya ayah Yudis langsung ajak kami untuk masuk ke kamar pasien - tempat Yudis dirawat - yang tertulis nomor 404 di pintunya. Sesampai dalam, kami merasakan Yudis yang duduk di atas kasur dengan raut muka ketakutan dan badan yang menggeligis. Dan ibu Yudis sedang duduk di sisi kanan kasur rawatnya, dengan gestur yang risau.
"Ezra... Mikel... Terima kasih kalian mau tiba." tutur ibu Yudis menyongsong kehadiran kami secara ramah.
"Iya bu, sama." jawab kami dengan grogi.
"Adakah perubahan dari kondisi Yudis, bu?" bertanya Mikel dengan santun.
Ibu Yudis cuman termenung, seolah memberikan signal jika tidak ada perubahan dari kondisi Yudis. Kami yang mengetahui signal itu, cuman dapat termenung seolah terbawa situasi yang pilu.
"Hai Yudis, bagaimana kabarmu?"sapaku.
Yudis tidak menjawab sapaku. Dengan gerakan yang serupa, Yudis cuman bicara sendiri dengan suara rendah dan resah.
"Ia akan tiba! Ia akan tiba! Ia akan tiba!" tutur Yudis sambil mengulang kalimat itu
Saya dan Mikel cuman dapat menatapnya dengan ganar.
Mendadak Yudis menjerit histeris, sambil berbicara;
"Tidak! Ia tiba! Ia tiba!"
Ibu Yudis yang menyaksikan kondisi putranya itu, segera memencet tombol kontribusi. Seakan-akan ia sudah tahu suatu hal yang jelek bisa terjadi. Dan bapak Yudis segera lari keluar kamar untuk minta bantuan.
Mikel yang ingin tahu dengan perkataan Yudis, langsung bertanya;
"Siapakah yang tiba, Dis?"
Tetapi Yudis tidak menjawab dan berteriak;
"Ia tiba! Ia tiba! Ia tiba! Ia tiba!"
Lalu Yudis tutup ke-2 telinganya dengan tangannya. Matanya mulai berair. Terlukis terang di raut mukanya; sebuah rasa ketakutan yang teramat benar-benar. Seakan-akan Yudis tengah hadapi suatu hal yang paling menakutkan.
Selang selang beberapa saat, badan Yudis tiba-tiba menggelinjang dan bergetar keras. Lalu, semuanya orang yang ada di ruang itu jadi cemas. Saya bersama Mikel usaha menenangkannya. Dan ibu Yudis cuman menangis pasrah menyaksikan kondisi putranya, seperti telah mengetahui jika tidak ada langkah untuk menenangkannya.
Saat saya menggenggam ke-2 lengan Yudis untuk menyadarkannya; saat itu juga ia merengkuhku seperti anak kecil yang ketakutan.
"Ia telah tiba!" tutur Yudist dengan gemetaran.
"Ia siapa? Siapakah yang tiba?" tanyaku.
Lalu Yudis berbisik ke telingaku. Dan Mikel langsung memasangkan telinganya untuk turut mendengarkannya.
"Saya tidak paham siapa ia. Saya cuman tahu jika ia selalu tiba ke kamarku pada malam hari. Panggil-manggil namaku." bisik Yudis sekalian merengkuhku dan menangis seperti anak kecil, "Ia tinggi! Berjubah hitam! Kerap bawa lentera hijau."
Saya dan Mikel termenung seribu bahasa dengan gestur kebingungan dan ingin tahu.
"Mengapa ia mencatatngimu?" tanyaku.
"Ucapnya ia ingin membawaku pergi." jawab Yudis.
"Membawa pergi? Ke mana?" balasku yang makin ketidaktahuan.
"Saya tidak paham!"
"Semenjak kapan ia mencatatngimu?" bertanya Mikel yang makin ingin tahu.
"Sejak pulang dari live-in!"
Langsung kami termenung seribu bahasa.
Selanjutnya Yudis menerangkan jika semenjak pulang dari live-in, ia sering kali dikunjungi oleh figur itu. Figur itu sejenis kelamin pria dan tidak mempunyai kepala. Ia selalu tiba tiap malam hari dan panggil-manggil nama Yudis - dengan suara suara yang garau - dari depan jendela ruang tidur, sambil bawa sebuah lentera warna hijau. Bahkan juga, sering figur itu memprovokasi Yudis untuk akhiri hidupnya.
Dengar narasi itu, saya dan Mikel cuman termenung seribu bahasa dan merinding takut.
Mendadak Yudis langsung keluarkan gestur kaget. Ke-2 matanya terbelalak dan mulutnya lebar terbuka - seperti orang tercekik - sambil arahkan jemari telunjuknya ke jendela kamar rawat.
"Itu ia!" tutur Yudist dengan cemas, "Ia ada di muka jendela!"
Lalu saya dan Mikel melihat ke jendela. Tapi kami tidak menyaksikan apa saja di situ. Walakin, kami dapat rasakan atmosfer yang menakutkan, hingga membuat bulu-bulu kuduk kami berdiri.
"Tidak ada siapa saja di jendela itu, nak!" tutur ibu Yudis dengan raut muka bersedih dan cemas.
Saya segera menyaksikan keluar jendela itu. Tetapi saya belum juga mendapati pertanda akan kedatangan suatu hal.sebuah hal. Cuman ada langit malam yang gelap dengan dihias oleh beberapa lampu gedung yang melingkari gedung rumah sakit, dan keributan jalan raya yang memberi warna kehidupan pemandangan itu.
Apalagi, saya sangsi jika ada orang yang melihat masuk di luar jendela kamar rawat itu. Karena, kamar rawat Yudis ada di lantai lima, dengan panorama yang ke arah lapangan parkir.
Saat saya kembalikan penglihatanku ke Yudis, saya merasakannya sedang meronta-ronta seperti orang kesetanan dan menjerit tidak keruan. Selanjutnya ia mulai ambil barang yang ia jumpai dan melemparkan ke sekitarnya dengan brutal.
Untungnya, ayah Yudis sukses kembali bersama dokter dan beberapa perawat. Lalu mereka segera mengikat Yudis - yang mengamuk seperti orang edan - di kasurnya. Selanjutnya dokter itu langsung menyuntikkan obat tidur ke lengan Yudis.
Kondisi yang kacau-balau itu, sudah membuat beberapa perawat minta kami untuk tinggalkan kamar rawat Yudis, dengan argumen keamanan. Lalu ayah Yudis langsung mengantarkan kita keluar, dan ibu Yudis masih tetap tinggal dengan Yudis yang terlilit di kasur rawatnya.
Kejadian itu sudah membuat kami jadi terkesiap. Karena sikap tidak lumrah Yudis sangat mengusik dan menakutkan. Semestinya satu ekor orangutan yang terserang rabies. Ayah Yudis cuman mohon maaf atas peristiwa barusan.
Akhirnya, kami jalan bersama ayah Yudis ke arah pintu masuk khusus, sambil bercakap-cakap. Ayah Yudis melempar beberapa pertanyaan ke kami, berkenaan aktivitas Yudis sepanjang live-in. Walakin, kami tidak bisa menceritakan banyak berkenaan kegiatan Yudis. Karena kami ada di desa yang lain dengan desa Yudis, hingga kami jadi jarang-jarang berjumpa dengannya sepanjang live-in.
Ayah Yudis cuman menghela napas saat dengar keteranganku. Tebersit raut muka sedih, karena tidak memperoleh titik jelas berkenaan aktivitas Yudis sepanjang live-in. Lalu ayah Yudis cuman ucapkan rasa terima kasih ke kami dan pamit untuk kembali lagi ke kamar rawat Yudis.
Saat menyaksikan keperginya ayah Yudis, kami bersedih karena tidak bisa menolong banyak rekan kami. Akhirnya, kami memilih untuk kembali lagi ke kost dengan hati resah.
Setelah tiba pada tempat parkir, saat itu juga kami dengar sebuah benda jatuh yang menghajar sebuah mobil. Karena suaranya benar-benar keras dan tidak jauh dari lokasi kami berada; lalu kami kaget dan melihat ke asal suara itu.
Disitu kami merasakan seorang pasien yang barusan melonjak keluar jendela kamar rawat dan landing di atap mobil ambulans - yang barusan terparkir di muka pintu UGD - sampai membobol masuk ke dalamnya. Lalu kejadian itu sudah membunuh seorang pasien dan mencederai dua tenaga kesehatan yang ada dalam mobil ambulans itu.
Dan keadaan pasien yang landing di mobil ambulans itu, ada pada kondisi yang paling menakutkan. Badannya remuk dan kepalanya terputus. Darahnya mulai bersibaran kemanapun, hingga memberi warna badan mobil ambulans itu jadi merah. Akhirnya, semuanya orang yang melihat kejadian itu jadi histeris. Beberapa satpam dan tenaga kesehatan segera mengevakuasi beberapa korban yang dalam mobil ambulans itu.
Di tengah-tengah kondisi yang kacau itu, saat itu juga kedengar - secara kabur - suara jerit seorang wanita di atas rumah sakit. Lebih persisnya dari salah satunya jendela kamar rawat di atas gedung. Lalu saya melihat ke asal suara itu. Sesudah saya sukses tangkap figur wanita yang menjerit itu, saat itu juga dadaku berasa sesak.
Wanita itu ialah ibu Yudis. Ia menjerit-jerit panggil nama putranya dengan benar-benar histeris. Bahkan juga ia akan turut melonjak keluar jendela. Walakin sukses dihindari oleh suaminya bersama dokter dan beberapa perawat.
Menurut kesaksian faksi rumah sakit dan orangtua Yudis yang ada di ruangan rawat itu; mereka menjelaskan jika Yudis - yang barusan disuntik obat tidur - tiba-tiba terjaga, putuskan semua tali pengikatnya, dan langsung melonjak ke jendela. Peristiwa itu berjalan cepat dan semuanya orang yang ada di ruang itu sedang meleng, karena menduga jika Yudis masih tertidur karena obat yang sudah disuntikkannya. Karena secara klinis, semestinya obat tidur yang baru disuntikkan ke Yudis bisa membuat tertidur sepanjang empat jam. Akhirnya, kejadian itu sudah membuat ramai banyak faksi. Informasinya mulai menyebar ke mana saja dan jadi informasi khusus di kelompok khalayak luas.
Saya dan Mikel yang melihat langsung kejadian itu, jadi benar-benar trauma. Bukan hanya trauma yang menyelimutinya diri kami, tetapi juga rasa kehilangan yang teramat dalam. Bahkan juga kami tidak dapat stop menangis tiap menyaksikan photo Yudis.
Sampai di hari ibadat penyemayaman tiba; kami menyaksikan ayah Yudis yang usaha untuk tegar, tetapi tidak dengan ibu Yudis yang tetap menangis histeris di muka jasad Yudis yang terbujur dalam peti. Moralnya remuk bersama badan putranya. Semuanya orang yang melihat kejadian itu turut terharu dan berasa kasihan dengan ibu Yudis. Tidak kecuali kami.
Saat sebelum proses penutupan peti berjalan; faksi keluarga mulai menyimpan beberapa benda kecintaan punya Yudis ke peti. Salah satunya benda yang memikat perhatianku ialah sebuah patung kayu berupa manusia tanpa kepala, dengan ukir-pahatan yang ganjil. Berdasarkan penjelasan dari orangtua Yudis, benda itu dibawa pulang oleh Yudis dari live-in. Tidak terang asal mula benda itu, karena Yudis tak pernah berceritanya ke mereka atau teman-temannya; terhitung saya dan Mikel.
Sebelumnya saya tidak mempedulikannya, karena tidak ada yang khusus dengan benda itu. Tetapi, semua berbeda saat seorang pastor sedang teteskan air suci ke badan Yudis dan - tidak menyengaja - berkenaan benda itu. Saat itu juga benda itu keluarkan kobaran api warna hijau dan membakar jasad Yudis. Akhirnya, semuanya orang yang ada di ruang itu jadi kaget dan usaha cari tabung pemadam api.
Mendadak saya menyaksikan Yudis dalam kobaran api itu. Ia sedang menjerit minta bantuan, dengan badan yang terlilit rantai. Tetapi, yang paling menakutkan dari panorama itu ialah saya merasakan figur berjubah hitam, mempunyai tinggi sekitaran dua mtr., bawa lentera hijau, dan tidak mempunyai kepala.
Figur itu berdiri ada di belakang Yudis, sekalian menggenggam rantai yang ingat badannya. Selanjutnya figur itu menarik paksakan badan Yudis dan lenyap dalam kobaran api itu. Belum saya menegaskan penglihatanku, beberapa pengunjung telah mematikan api itu.
Saya usaha menanyai penglihatanku ke Mikel, tetapi ia tidak menyaksikan apapun selainnya api warna hijau yang tiba-tiba ada dari dalam peti Yudis. Bahkan juga semuanya orang di ruang itu cuman terpusat pada munculnya api misteri itu. Akhirnya, kejadian ini membuatku jadi syak wasangka yang diselimuti oleh hati takut.
Comments
Post a Comment