Ibu Wingsih sempat terkejut dengan pertanyaanku. Dia menghela napas dalam. Saya jadi terasa gak sedap hati.
"Ia... Arini, Arini yaitu...,"
"Arini yaitu anakku yang udah mati 1 tahun lalu," jawabannya dengan raut paras yang penuh rasa sedih. Saya merasai apa yang dia rasa. Saat itu juga saya merapat serta menyeka punggungnya. Mengharapkan dapat menghilangkan sedikit rasa sedih di hatinya.
"Terima kasih, Mbak," sahutnya.
"Kita teruskan pembicaraan kita, Mbak. Ada penting apa Mbak Diana hadir kesini?" paras wanita itu tiba-tiba gembira. Benar-benar aneh. Walaupun sebenarnya barusan dia sempat menitikkan air mata.
"Oh, iya, Bu. Ini prihal penawaran Ibu kemarin. Saya...," Saya menyudahi ucapanku, ada kesangsian yang menggelikan instingku waktu ini. Apa benar ini? bagaimana dengan dosa di belakangnya?
"Mengapa, Mbak? ragu-ragu?" Ibu Wingsih mengerutkan dahinya. Saya bertambah salah tingkah.
"Saya...,"
"Ehm, tidak lama Mbak, saya mengambil suatu dahulu," Ibu Wingsih berdiri serta melangkah pergi tuju suatu area.
Sembari tunggu kemunculannya, mataku mengedar kesetiap pojok tempat. Tidaklah ada yang aneh, area itu cuma berisi sejumlah foto cerita lama yang elok. Kelihatan sekali Ibu Wingsih begitu mencintai anaknya yang udah tidak ada.
Drap-drap-drap!
Saya sempat tersentak waktu lihat kehadiran Bu Wingsih yang mendadak. Dia bawa keranjang kecil berisi botol-botol imut dengan bermacam warna.
"Sehingga apa keluh-kesah Mbak Diana? ingat Mbak, sekali ambil langkah pantang mundur kembali. Efek kita tanggung semasing. Apabila Mbak ragu-ragu, silakan mundur teratur," paras Bu Ningsih berganti jadi benar-benar menyeramkan dengan matanya yang menyoroti tajam.
Pengin rasanya mundur. Sebab dalam hati memahami apabila ini tingkah laku musyrik. Akan tetapi, bayang-bayang sewaktu Bang Damar membentak-bentak serta merendahkan diriku masa itu, pun tingkah lakunya yang nyatanya menyeleweng, saat itu juga rasa raguku redup serta secara sadar terima prasyarat dari Bu Wingsih.
"Oke, bakal saya jabarkan jenis-jenis minyak kawiyang ini,"
"Ini, warna hitam, kasiatnya untuk bikin badanmu anti dari semua senjata tajam. Ini sesuai buat orang sakti,"
"Warna, merah ini buat kirim guna-guna serta guna-guna. Siapa-siapa saja yang Mbak Diana tidak suka, dapat wafat dalam beberapa waktu saja,"
Saya manggut-manggut dengar pembicaraan Ibu Wingsih ini. Pikiranku udah buta dengan kemurkaan. Sakit hati yang sangat dalam di suami, juga wanita simpanannya itu.
"Bila pengin cepat kaya, gunakan ini, minyak kawiyang warna putih. Poleskan sedikit saja di helaian uang, tidak mustahil uangnya bakal balik kembali,"
"Pendapat saya, belikan emas, uangnya balik, emasnya dapat," mataku berbinar dengar ucapannya. Sungguh-sungguh menjanjikan.
"Ada kembali minyak memiliki warna kuning. Ini buat pengetahuan pelet, namun ini spesial buat laki laki," katanya.
"Serta, buat wanita, Bu?" tanyaku ingin tahu.
"Ini, ini yang banyak dipakai oleh beberapa orang kami. Minyak Kawiyang hijau,"
"Kasiatnya hebat. Dapat membikin suami makin cinta. Sebab kita yang bertambah muda, elok, berkulit putih serta mulus. Siapa saja lelaki akan kasmaran pada kamu, seperti saya waktu ini. Saya gunakan minyak kawiyang warna hijau ini,"
"Sesungguhnya Minyak Kawiyang ini Minyak apa, Bu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
"Mbak tidak ketahui apa yang dimaksud Minyak Kawiyang? jelas bukanlah orang asli Kalimantan, ya? aura Mbak Diana lain," Bu Wingsih menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Tidak, Bu. Saya dari wilayah Jawa. Suami saya juga. Kami di sini cuman mengembara, Bu," jawabku jujur.
"Hmm, pantes. Saya asli orang Kalimantan. Nenek saya suku dayak asli di pedalaman rimba Borneo," sebutnya. Sekejap badanku takut dengar ucapannya.
Berdasar pada sejumlah cerita tetangga, suku asli Kalimantan benar-benar miliki banyak ragam Minyak yang banyak faedah, namun dibalik faedah yang 'wah', ada rahasia besar yang melingkupinya, sampai beberapa orang yang menggunakan sulit mati. Walau udah tua, memiliki bau busuk seperti bangkai seperti mayat hidup, dia gak jua mat* sebelum muncul yang mewariskan ilmunya. Apa ini pun yang bakal terjadi padaku?
"Kau gak mesti ragu-ragu, seluruhnya ada efeknya. Bila bab mat*, sejumlah keluargaku pun mat*, faktanya anakku Arini mat* muda, belum 1 tahun menikah, dia seharusnya meregang nyawa," cahaya di paras Bu Wingsih bertambah menurun. Dia kembali kusam.
Betul kata Bu Wingsih. Siapa-siapa saja yang bernyawa jelas mat*, apa saja langkahnya. Toh, hidupku pun waktu ini seperti orang mat*. Hampa, sebab pembelotan suamiku, Bang Damar.
"Ya, malam nanti ku kasih gajiku. Saat ini kau pergilah. Malas lihat parasmu yang lusuh tu, gak dapat menjaga diri kaunya!"
"Bang, mengapa sekasar ini ucapanmu saat ini?"
"Kau pikirkan sajalah. Mana ada lelaki yang senang dengan wanita kucel sepertimu, berbau dapur!" sungutnya.
Mendadak perkataan Bang Damar masa itu kembali terngiang di pikiranku. Begitu kejam, menyobek harga diri serta jiwaku.
Ternyata masa itu dia udah berselingkuh di belakangku. Layaklah sikapnya benar-benar beralih serta berkesan gak mengacuhkan hadirnya diriku.
Saya meremas tunik coklat yang ku pakai. Mengendalikan air mata yang berontak pengin tumpah. Rasa yang benar-benar menyakitkan sampai raga seakan tanpa ada nyawa.
"Mbak? mengapa diam? apabila pengin mundur masihlah ada kesempatan,"
Nada Bu Wingsih menyadarkanku. Saya lekas memandang parasnya serta mengusikk tanpa ada ragu-ragu.
"Saya terima apapun efeknya, Bu. Saya pengin suami saya runduk, serta kembali pada dekapan saya pun jadi kaya,"
"Apa yang wajib saya kasih selaku mahar?"
"Ha-ha-ha, gak penting mahar, namun saya miliki prasyarat yang mungkin bisa membikin diri kamu mual serta mundur sebelumnya mengerjakannya,"
"Namun, apabila kau ingat maksud awalan serta apa yang bakal kau bisa, saya meyakini prasyarat itu gak berapa,"
"Apapun, Bu. Saya telah terlanjur sakit hati hadapi sikap suamiku yang menyeleweng serta menyiakan keluarga, namun bodo*nya Saya masih amat menyenanginya," sahutku jengkel.
"Baik, kau ketahui apa yang dimaksud Minyak Kawiyang?"
Kembali saya geleng-geleng. Dengar namanya saja anyar kesempatan ini.
"Minyak Kawiyang yaitu nama lain dari Minyak Kuyang,"
"Mi--Minyak Kuyang?" badanku sekejap bergetar top.
"A--apa niat Ibu, Kuyang yang seperti kata beberapa orang itu, kepala terbang bersama dengan organ badannya?"
"Ya, itu betul. Serta ketentuannya Mbak Diana mesti jadi Kuyang. Seperti saya," seulas senyuman menyeramkan tersungging di paras Bu Wingsih. Membikin bulu-bulu badanku meremang.
"A--aku, jadi Kuyang?" seakan gak yakin dengan ucapanku sendiri.
"Ya, minum darah cuman sekian kali dalam 1 tahun. Masak tidak dapat? ingat Bu, apa yang bakal Ibu bisa. Paras elok, siapa-siapa saja jelas memberikan pujian, suami tambah sayang, selingkuhan di tendang. Anak-anak berbahagia sebab hidup berkecukupan,"
Saya menelan saliva kerepotan. Dikempit bingung . Sehingga Kuyang? atau hidup sulit serta terlarut dalam rasa sedih?
Comments
Post a Comment