Perlahan-lahan saya beringsut mundur, raut paras Bi Nenah nampak disanggupi kemurkaan, bola matanya tajam menatapku penuh tidak suka. Menyeringai memperlihatkan gigi dan putar kepala ke kanan dan kiri.
Rafka tarik tangan Ani perlahan, biar menjauhi Ibunya yang nampak gak biasa, sedang Ani nampak was-was memandang ibunya berganti aneh.
"Ummi mengapa, Om?" bertanya Ani. Manik anak kecil itu mulai berkaca-kaca memandang Rafka, mempersoalkan perombakan ibunya yang mendadak.
"Om pula belum ketahui," sahut Rafka geleng-geleng kurang kuat.
"Ca, kelihatannya Bi Nanah kesurupan," bisik Rafka padaku.
Belumlah sempat saya menjawab, Bi Nenah mencapai teko kaca berisi air yang ada gak jauh dari tempat dia duduk, tangannya terangkut. Momen Itu berlangsung sangat kencang.
"Ica...!" Rafka berhambur ke arahku, memajukan sampai saya terjengkang terhimpit olehnya. Teko yang dilempar menghajar dinding, mengakibatkan bunyi gaduh dengan pecahan kaca yang berantakan di lantai.
Saya memekik terkejut, tangan memegang kepala membatasi takut dan gemetaran.
"Kamu tidak apapun, Ca?" bertanya Rafka masih yang ada benar di atasku. Napasku tersengal, terkejut bergabung takut, sampai gak bisa menjawab pertanyaanya.
"Minggir kau!"
Belumlah sempat saya berkata apa saja, Bi Nenah menarik Rafka dan melemparkan sampai terbentur dinding. Laki laki itu memekik, terjatuh di lantai sekalian meringis kesakitan.
"Rafka!" Saya menjerit memandang laki laki punyai tubuh kurus itu terpental.
Ani sangat juga ketakutan memandang ibunya yang kian kasar, dia meraung panggil Bi Nenah.
"Kubunuh, Kau!" Bi Nenah maju ke arahku. Dia gak mengindahkan siapa saja, kelihatannya akulah targetnya. Ada apakah sebetulnya, kenapa Bi Nenah nampak demikian tidak suka padaku?
Cepat Rafka bangun dan memajukan Bi Nenah biar gak dekatiku, sampai wanita yang selalu berlaku halus itu terhunyung.
"Keluar, Ca, membawa Ani!" perintah Rafka.
Saya masih terbelalak, sukar menyatukan ingatan sampai gak tahu harus melakukan hal apa.
"Cepat, Ca, keluar! Bi Nenah kerasukan, kunci pintu di luar!" tengking Rafka. Badannya mencegah Bi Nenah dengan tangan memegang istrinya Mang Tatang itu.
Selekasnya saya bangun, lalu memandu Ani dan mengambil kunci yang terkait di pintu.
"Mencari kontribusi, Ca, mohon bantuan masyarakat panggilkan Bapak!" teriak Rafka dari dalam. Bisa kusaksikan barusan, semaksimal mungkin dia membatasi Bi Nenah, apa Rafka dapat kuat menentang orang yang sedang kerasukan sendiri? Tangannya masih repot membatasi Bi Nenah yang meronta mau kejarku.
Sehabis saya dan Ani ada di dalam luar, kukunci pintu. Tetap dengan kekhawatiran, saya 1/2 lari sekalian memandu Ani, cari kontribusi.
Nampak sebagian orang berpakaian koko tengah jalan bersamaan, kayaknya mereka baru pulang dari mushola.
"Mang tolong, Mang!" panggilku sekalian tergopoh hampiri mereka.
"Ada apakah? " Beberapa orang itu nampak terkaget melihatku was-was.
"Tolong panggil beberapa orang, Bi Nenah kelihatannya kesurupan, Mang," ucapanku dengan napas terengah.
"Kesurupan?" Beberapa orang yang berdiri gak jauh dariku nampak sama-sama lihat. "Kami mencari kontribusi." Lantas mereka selekasnya memutar arah balik ke arah mushola.
Masyarakat daerah yang bertepatan dengar nada kami, keluar rumah masing-masing, merapat padaku dan ajukan pertanyaan ada apakah. Saya gak dapat mengatakan lengkapnya, cuma bercakap kalau istri Mang Tatang seperti orang kesurupan.
Saya pula mengharap satu diantaranya masyarakat biar jemput Bapak, lalu saya dan Ani berlindung di satu diantaranya rumah masyarakat.
"Ada apakah, Teh?" Santi nampak terkaget melihatku ada di dalam depan tempat tinggalnya.
"Bi Nenah, San."
"Mengapa dengan Bi Nenah, Teh?" bertanya Santi.
Saya geleng-geleng. "Tidak tahu, San, barusan mendadak Bi Nenah ketawa, mukanya berganti ganas," jawabku sekalian mengontrol napas.
"Ya telah, Teteh sama Ani nanti saja di sini hingga sampai situasi Bi Nenah normal kembali," tutur Santi memegang tanganku yang gemetaran.
Saya merisaukan Rafka, bagaimana kalau Bi Nenah membahayakan Rafka? Mudah-mudahan saja masyarakat dapat menolong Rafka menanggulangi Bi Nenah.
"Teh Ica, Ummi mengapa?" bertanya Ani sekalian menangis.
Dia guncangkan lenganku.
"Teteh pula tidak tahu, kita nanti saja di sini ya, moga saja Ummi kamu tidak apapun," jawabku sekalian beres-beres rambut anak itu yang keluar cadarnya.
"Saya takut, bapak berada pada dalam." Ani menangis terisak.
"Bapak kamu nyata baik saja, ada Om Rafka dari sana, ada masyarakat lain pula, tenang ya," kataku sembari memegangnya.
Saya sendiri bingung pikirkan kalau berlangsung suatu hal di Rafka, pikiranku terus tertumpu kepadanya.
Terlintas kembali paras tengilnya yang tidak pernah suntuk merecoki, tidak pernah rapuh dari senyuman dan gurau tawa. Apa saya demikian egois, selalu gak mengacuhkan cintanya. Ada rasa sesal di saat sampai kini selalu melewatkan hatiya yang demikian ikhlas. Meskipun rada frontal mengungkapkan semuanya, tetapi dia tidak pernah memaksakan.
Setitik air mata menetes, jauh direlung hati doakan keselamatannya, manalagi di saat memandang Bi Nenah semaksimal mungkin melempar Rafka, hatiku sakit. Ya Rabb, menyelamatkan Rafka.
**
Ibu-ibu yang umum kumpul, mengunjungi rumah Santi, nampak bising ajukan pertanyaan perihal momen barusan. Sehabis rada tenang, saya ceritakan semampunya yang kusaksikan barusan.
"Saya telah omong, kalaupun sewa itu ada menantinya, masalahnya yang dahulu mengontrak itu tidak di kerasan, sekedar kamu saja sama keluarga Bi Nenah yang amat lama," papar orang wanita yang tempat tinggalnya gak jauh dari rumah Santi.
"Iya, mending kalian berpindah saja, masa itu Ani, saat ini ibunya, besok-besok mungkin kamu yang kesurupan, Ica," cetus salah satunya dari mereka.
"Ingat Kiyai Gofar pula ujarnya mati gara-gara penunggu rumah itu."
"Sudah-sudah, gak boleh di nakutin, kasian Teh Ica," kata Santi sekalian memegang tanganku kuat.
"Ya telah, kalian nanti di sini, saya pengen tonton dahulu momen dari sana." Satu diantaranya masyarakat pamit.
"Saya ikut serta," timpal lainnya.
Sejumlah ibu-ibu keluar rumah Santi ketujuan rumah Bi Nenah, ingin lihat sendiri apa yang berlangsung.
Saya gak dapat ke situ, lantaran mengawasi Ani dan memandang Bi Nenah yang aneh waktu melihatku, jadi takut kian jadi kalau saya ke situ.
***
Jam memperlihatkan angka 10 malam, rasa mengantukku lenyap berpindah kebimbangan, mengharap berita, mengharap Bi Nenah dan Rafka baik saja.
Ani telah terpulas beberapa hari lalu, dia tiduran di ribaanku.
"Teteh pula tidur saja kalaupun ngantuk, kelak saya bangunkan kalaupun ada yang ada kesini," tutur Santi.
"Tidak apapun, San, saya belum ngantuk," jawabku sekalian mengelus kepala Ani.
Kami sedikit berhubungan, Santi mempersoalkan hubunganku dengan A Rofiq, dia bercakap tidak pernah memandang lelaki itu kembali di daerah ini.
Rasanya gak ada yang harus saya menyembunyikan, kuceritakan seluruh di Santi perihal hubunganku dengan A Rofiq.
"Jadi Teteh telah berapakah bulan dipegat? Ya Allah, mengapa A Rofiq setega itu?"
"Saya pula tidak tahu, San, ujarnya ia tonton saya menyeleweng sama Rafka."
"Astagfirullah, itu fitnah namanya, Teh. Saya tahu Teteh wanita baik, mengapa jadi A Rofiq nuduh yang bukan-bukan?"
"Biarlah, San, kemungkinan telah takdir, saya pula gak dapat menampik."
"Yang sabar, Teh, moga ada jalan keluar buat Teteh dan A Rofiq."
"Aamiin, San, terima kasih."
tengah asyik bersembang, kedengar nada ketukan pintu. Santi bangun buat buka. Seeorang berdiri dari sana, laki laki baru saja menolongku.
"Rafka?"
"Masuk, A," bawa Santi.
"Saya sama Bapak kamu cari ke rumah, rupanya tidak ada, saya bertanya masyarakat, ujarnya kamu di sini," papar Rafka hampiriku.
"Ya Allah, Raf...." Saya memandang paras Rafka penuh bengkak, pojok bibirnya ada tersisa bintik darah. Saya turunkan Ani ke bantal baru saja diberi Santi.
"Mengapa hingga sampai berikut?" Mukanya bonyok.
"Iya, barusan gelut sama Bi Nenah waktu menunggu kontribusi masyarakat, maka itu berikut. Kuat sekali tenaganya, saya kebingungan," ocehnya sekalian menyeka bibir yang berdarah.
"Bapak saya tidak apapun kan Raf?"
"Tidak apapun, masalahnya banyak masyarakat yang tolong, kalaupun barusan kan saya masih sendiri, maka itu kebingungan."
Saya mengharap air hangat dan kapas di Santi, gak sampai hati memandang laki laki yang selalu mengawasiku tercedera.
"San, kamu mempunyai obat cidera?"
"Tidak, Teh."
"Ya telah, ini saja," tuturku mencapai mangkuk berisi air hangat yang diberi Santi.
"Saya bersihkan cidera kamu."
Perlahan-lahan kusapu cidera Rafka beserta air hangat, semestinya air dingin buat meredam bengkak, tetapi di sini tiada air es. Ada rasa sebak di dada waktu memandang mukanya penuh bengkak untuk melindungiku. Meskipun Rafka nampak diam-diam saja, rasanya bersusah-hati memandangnya berikut.
"Gak boleh nangis, Ca," tuturnya.
" Tidak." Saya beralih sembunyikan air mata.
"Saya tidak apapun kok," tuturnya.
"Bi Nenah bagaimana?" tanyaku. Coba memindah hati aneh ini.
"Alhamdulillah, saya sama Bapak kamu ditolong masyarakat dapat menyelesaikan Bi Nenah."
"Mengapa sebetulnya Bi Nenah, Raf?"
"Saya pula belum mengetahui nyata, tetapi kamu tidak perlu waswas, Bi Nenah saat ini telah seperti biasanya."
"Lagi Bapak saya di mana?"
" Masih di dalam rumah Bi Nenah, pengen ke sana saat ini?"
Saya menengok mengarah Ani yang nampak lelap.
"Ani supaya saya gendong," tutur Rafka.
"Saya kerjakan dahulu ini," tuturku menambahkan sapu terlepas di bibirnya yang ada bintik darah.
"Sakit tidak?"
"Barusan sakit, tetapi serasi tonton kamu terus pulih." Dia tersenyum.
"Gak boleh bergurau, saya bersusah-hati tonton situasi kamu berikut."
"Apakah yang dimaksud rasa sayang?"
"Bukan," sanggahhku.
"Hmm. Telah, kita membawa Ani pulang."
Saya angguk ketahui, belumlah sempat bangun, penglihatan kami berbicara rada lama gak beralih. Ada satu rasa dalam sini, rasa yang berkobar-kobar, apa haru atau kasihan? Atau rasa lainnya?
Entahlah....
"Thanks, Ca."
"Buat?
"Telah sayang sama saya," papar nya terkekeh.
Ah, Rafka. kamu itu mengesalkan, tidak pernah berserah.
"Siapa pula yang sayang sama kamu, GR," cetusku.
"Itu kamu nangis dan bersusah-hati tonton saya bonyok berikut."
"Jadi kalaupun Santi nangis tonton kamu berikut, kamu pula sangka ia sayang sama kamu, getho?" cecarku menolak kalimatnya.
Saya tahu, Raf, rasamu gak terhenti, tetapi saya harus masih mempersiapkan hati, kemungkinan saya memanglah egois, masih menanti suatu yang gak selayaknya. Sedang cinta di muka mata, kubiarkan demikian saja.
Rafka jadi terpingkal-pingkal dan tiduran di ribaanku tiada ijin.
"Eh-eh. Apa-apaan ini, bangun Raf!" Saya gelagapan dengan tingkah Rafka yang mulai mengesalkan.
"Terima kasih, Ca." Mukanya menengadah. Matanya lengket menatapku.
"Kamu berani sekali sich seperti ini, ini rumah orang, bagaimana kalaupun Santi mikir yang bukan-bukan!" Suara suaraku meninggi, dongkol dengan tingkah Rafka.
"Supaya saja sekalinya mikir yang iya-iya juga. "
"Kamu ini 'kan, saya telah omong, kita ini bukanlah muhrim, kamu harus dapat menjaga sikap, senang ya senang, tetapi tidak ini pula, kamu harus ketahui apakah yang dimaksud dosa," omelku dongkol.
"Iya tahu." Tiada perduli ocehanku, dia bangun lalu hampiri Ani dan memangkunya. Jalan mengarah pintu dan berdiri dari sana menanti saya membuka daun pintu.
"San, saya pulang dahulu, ya," pamitku.
"Meski sebenarnya nginap saja, Teh, saya pula tidak ada kawan," kata Santi. Dia sempat ceritakan barusan, berkata suaminya pulang dua minggu sekali.
"Ada Bapak di dalam rumah saya, San, lain waktu saja, thanks ya."
Saya dan Rafka jalan mengarah rumah sewaan, nampak dari sana masih ramai yang kumpul berdialog.
Rafka bawa Ani ke kamar, sementara saya hampiri Bi Nenah.
"Bibi tidak apapun?" tanyaku di Bi Nenah yang nampak letoi.
"Tubuh Bibi sakit seluruh, Neng, Bibi tidak ingat apapun."
"Ya telah, Bibi istirahat saja, saya pula pengen pulang, ada Bapak masalahnya."
"Maaf, Neng, bibi menyulitkan," tuturnya dengan nada serak membatasi bersusah-hati.
"Telah, Bi, tidur. Ingat banyakin istighfar," pesanku.
Aku juga pulang ke rumah bersama Bapak, beliau dapat bermalam ini malam temaniku, waswas dengan kondisiku, manalagi berulangkali pernah mendapatkan intimidasi.
Saya bertanya perihal Bi Nenah di Bapak, tetapi Bapak cuma berkata kalaupun Bi Nenah kesurupan, gak pengen bercakap apa saja, cuma menggempur Rafka brutal.
Bapak mengharapku berwaspada, orang yang pernah sempat kerasukan, seakan telah ada jalan masuk buat jin yang pernah sempat kuasai buat merasuk kembali. Tapi, kalau orang itu kuat, perasaannya dapat menentang.
Pertanyaan untuk pertanyaan juga mulai bermain di ingatan, apa yang merasuk Bi Nenah itu tetaplah sama dengan makhluk yang pernah sempat mengancamku dalam mimpi?
Lalu mengapa harus Bi Nenah? Dari soal kecil yang berlangsung di dalam rumah ini, hingga sampai soal saat ini di luar logika. Bapak pula mengharapku biar berpindah saja ke tempat tinggalnya, beliau pula mengharap biar saya gak ambil dampak. Saya ketahui ke risaukan orang ayah di anaknya, dan juga gak sampai hati tinggalkan Bi Nenah dan keluarganya, manalagi Mang Tatang belum sembuh.
"Neng..."
"Iya, Pak."
"Apa kamu barusan memandang suatu di muka rumah ini?" bertanya Bapak.
"Iktikad Bapak?"
"Tidak, Bapak sekedar bertanya," tuturnya.
Barusan saya was-was dan gak sempat memandang apa saja waktu keluar rumah Bi Nenah, entahlah apa yang Bapak tonton, seperti tengah sembunyikan suatu dariku.
Comments
Post a Comment