Waktu itu, tahun 1991, saya ialah pelajar baru dalam suatu SMA Negeri favorite kota dingin di kaki Sindoro - Sumbing. Waktu itu, barisan pelajar pecinta alam (PALA) sekolah kami akan melangsungkan pendadaran anggota baru. Inisiasi anggota akan dilaksanakan di pucuk gunung Sindoro. Memakai truk sampah, sore itu kami semua diangkut ke arah dusun Sigedang, posko pertama pendakian ke gunung Sindoro.
Setelah makan malam dan sholat Isya, kelompok kami mengawali perjalanan pendakian pertama. Kami jalan dengan penuh semangat sampai lupakan ransel berat berisi bekal yang berada di punggung. Makin malam, cuaca makin dingin. Saat lajur pendakian makin naik, gerimis turun. Cairan halus yang berguguran dari langit itu berasa seperti beberapa ratus lidi yang memecut muka.
Saat sebelum sadar jika terpisah dari kelompok, saya masih menyaksikan Kak Yasip, pelatih Pramuka sekalian senior di barisan pencinta alam jalan mendahuluiku. Jas hujannya yang lebar kelihatan berkibar-kibar melalui badanku. Saya percepat cara. Ransel di punggung semakin bertambah berat. Jalanan licin menyulitkan medan yang naik dan curam. Kutiup jari yang makin membiru karena kedinginan.
Pendakian ini kali berasa demikian berat. Rimba lereng Sindoro yang baru terbakar perlambat langkahku. Saya harus mendapati kelompok. Janganlah sampai saya mati membeku karena salah jalan.
"Jalan lempeng, berhati-hati licin!" mendadak kedengar suara lelaki membantu langkahku. Saya tergeragap lalu melihat. Kelihatan seorang cowok gagah memiliki ransel tersenyum kabur di belakangku. Sinar bulan tidak sanggup membuat mukanya kelihatan cukup terang. Kemungkinan ia salah satunya kakak kelas yang belum saya mengenal.
Aku juga ikuti instruksinya telusuri jalanan yang makin curam dan licin karena hujan. Lereng Sindoro yang gundul karena kebarakaran rimba baru saja ini membuat situasi makin menakutkan.
Narenda terus membantuku ikuti jalan setapak sampai hingga ke pucuk. Pipi yang membeku dan tangan yang mati rasa karena lupa menggunakan sarung tangan makin perlambat perjalanan kami ke pucuk.
"Tampar-tampar pipinya agar hangat. Tangannya tepok-tepuk agar tidak beku!" Aku juga selekasnya lakukan semua perintahnya tanpa melihat ke belakang. Sedikit mendingan. Jariku mulai berasa hangat teraliri darah. Huft, lain waktu saya tidak bisa ceroboh. Tidak bisa berlagak kuat dan gesit hingga jalan terlampau cepat menyusul kelompok dan salah jalan. Jika ini kan ribet. Seandainya saya salah jalan dan lenyap ditelan kegelapan lereng Sindoro yang dingin, naudzubillah! Aku juga usaha menepiskan beberapa pikiran jelek dan bibirku tidak henti komat-kamit berzikir sedapatnya.
Pada akhirnya kami selamat sampai pucuk tanpa yang mengetahui jika saya terpisah dari kelompok. Aku juga selekasnya tergabung dengan rekan sekelas, Irum dan Siti yang telah duduk menghangatkan tubuh di muka api unggun. Sesudah menjalankan sholat shubuh di pucuk Sindoro yang seperti lapangan sepak bola, kami juga berpose bersama berdasar matahari keluar dan kubangan kabut yang merontokkan belulang.
Comments
Post a Comment