Gelegar suara itu benar-benar keras kedengar sampai semua, yang semula menceritakan saat itu juga diam tutup mulut masing-masing, memerhatikan apa yang terjadi. Ibu yang keluar kamar cuman memeriksa kehadiran kami bertiga di sini, beliau cuman rekat memandang ke diriku sekarang.
Sesak napas berasa, tubuh panas saat itu juga sampai kepala pusing memutar. Pukulan itu pas berkenaan raga ini, tanpa tameng persiapan sekarang malah saya sebagai target pengetahuan setan ini.
"Al... Al...,!" suara ibu masih kedengar, walau tidak demikian lagi jelas.
Saya cuman kesakitan dengan perut sampai ke dada rasanya tidak karuan, panas mendidih. Saya cuman coba menarik napas sebisaku, menantang semampu ku. Dan sekarang mual ini makin kuat, usus seperti di pelintir. Deskripsi merasa sakit itu tak lagi dapat tercatatkan, hingga kemudian sebuah tenaga mengucur seperti angin yang lumayan kuat dari punggung ku. Menyebar berlahan dalam perut ini selalu naik merasa sakit itu.
Darah dengan benda aneh keluar mulut ini.
Sesudah disaksikan itu hancuran tulang belulang, yang paling kecil dan tajam. Muntahan itu banyak sampai mata ini tertutup tidak dapat kembali ingat apa saja.
Saya terjaga pada hari ke-2 sesudah peristiwa itu, bersamaan di mana hari itu pak Samsi wafat. Pagi barusan penyemayaman telah di kerjakan, semakin bertambah kembali kedukaan yang menerpa bu Laras dengan ke-2 anaknya.
Bising masyarakat masih kedengar di dalam rumah ini, saya cuman menemui muka ibu pas di depan ku saat buka mata.
"Minum ini Al!"
Air dengan bunga melati, dan tercium harum misik, rasanya juga benar-benar pahit saya telan berlahan. Surut panas di perut dada ini sesudah minum air itu.
Namun merasa sakit masih berasa. Perih cedera di pangkal kerongkongan sampai langit-langit mulut ini karena tulang yang tajam itu. Tubuh masih terasanya lemas, tenaga betul-betul terkuras habis.
"Pak Samsi wafat subuh barusan, kamu mikir apa sampai dapat terkena santet itu?" Ibuku berbicara, menerangkan bila suami bu Laras telah berpulang, beliau bertanya suatu hal.sebuah hal.
"Saya cuman berasa kasihan saja menyaksikan keluarga ini bu, tidak sampai hati melihat bu Laras pak Samsi. Ditambahkan lagi, anak-anak nya kelihatan ketakutan bu!" jawabku dengan terus meredam sakit.
"Ibu telah ngomong, bila tidak boleh mengasihani semuanya. Apa kamu tak ingat orang yang saat itu terkena, karena kasihan menyaksikan mertua mbak Laras wafat!" sebut ibu mengingati, dengan suara sedikit keras tekan ku.
Usaha saya tersenyum dan menggangguk pertanda pahami, tidak berapa lama beliau mohon pamit keluar untuk menentramkan keluarga almarhum khususnya temannya yang sekarang ini benar-benar perlu support beliau.
Saya masih tetap terkapar kurang kuat, tidak dapat bangun, seperti lumpuh saya rasa waktu itu. Cuman bernafas dan berdoa yang dapat saya kerjakan.
2 hari berakhir tanpa menyaksikan apa yang terjadi. Saat tersadarkan korban telah semakin bertambah kembali. Pagar gaib yang telah dibuat awalnya tembus oleh serangan setan-setan kiriman dukun itu. Semua belum capai akhirnya peperangan yang menakutkan ini. Benar-benar membuat takut saat mengetahui bila diri ini juga tanpa daya membendung pengetahuan hitam yang sakti.
Pintu terbuka, dan saya buka kembali mata, cara seorang kedengar merapat. Perlahan saya melihat ke itu, namun mata ini belum prima untuk menyaksikan, walau jarak dipan dengan pintu tidak demikian jauh. Kabur bayang-bayang itu terus merapat dan memulai berlahan terang nenek tua berkulit kerutan tiba mendekati. Tatapnya tajam walaupun nyaris setengah matanya tertutup kantung mata yang mengatup itu!
"Mbah Sareh!" Saya yang kaget menyaksikan figur beliau kembali.
"Hiiihiiii, ini makan agar sehat bagas sehat le!" beliau memberi potongan kemenyan sebesar ujung kelingking anak kecil padaku.
Saya cuman buka mulut ini, lalu mbah Sareh memasukkan benda itu. Benar-benar gampang masuk ke tanpa perlu ditelan. Tubuh terasanya benar-benar dingin, sampai tangan beliau menyeka perlahan dahiku yang membasah karena keringat. Saat sebelum kembali mata ini tertutup karena rasa mengantuk yang tanpa ketahan, sebuah senyuman terlihat kembali, sampai semua tanpa kelihatan kembali.
Sesudah sekian tahun lama waktunya sejak tatap muka saya dengan Nyai Sembrani di bukit Sepungkruk, sekarang beliau datang dengan bentuk yang serupa tepat sebagai mbah Sareh. Figur itu masih tetap manjing padaku, bersilahturahmi di antara kami rupanya tidak terputus.
Kembali saya terjaga, tetapi ada rasa lain di tubuh ini, seolah benar-benar sehat, tenaga telah kembali, bahkan juga berasa seolah tak pernah ada apa-apa pada diri ku awalnya. Tubuh fresh, cedera di langit-langit mulut ini lenyap sesudah saya raba dengan lidah ini.
Aku segera dapat berdiri tegak, jalan, keluar kamar dan menjumpai yang lain yang sedang bertahlilan di ruangan tamu.
Semua mata tertuju menyaksikan ke ku, bingung ibuku sesudah menyaksikan diri ini jalan mendekati. Senyuman hangat beliau kelihatan menentramkan, seolah mengartikan bila dianya telah memahami apa yang sedang terjadi dengan ku.
Cuman raut beberapa wajah duka cita itu tetap kelihatan terang dari mereka yang ditinggal pak Samsi. Ada untai senyuman di pojok bibir bu Laras bagiku, walaupun itu benar-benar berat dia datangkan.
"Bagaimana le, telah baikan?" Ibu menanyakan saat saya telah duduk dari sisi beliau.
"Alhamdulillah bu, sehat sekali saat ini" saya menjawab.
"Itu khodam tiba, memberi obat untuk kamu. Janganlah lupa mengucapkan terima kasih pada beliau yang telah lama jaga kamu sejauh ini" tambah ibu menerangkan.
Dari sana saya cuman bingung dengar jawaban itu, banyak sekali penjaga di diri ini, tanpa berasa apalagi kelihatan oleh mata. Mereka yang dulu pernah datang diperjalanan kehidupan ku sejauh ini jaga ku, seperti bayi yang tetap mereka asuh di mana juga ada.
Saya belum juga memahami seperti mana langkah mengucapkan terima kasih ke beberapa penjaga itu, sama seperti yang diminta ibu ku!
Sekarang saya cuman turut membacakan doa roh almarhum mendiang pak Samsi, sampai beberapa masyarakat mohon pamit untuk kembali lagi ke rumah semasing. Kemudian saya cuman turut duduk untuk mengobrol bila bu Laras dan anak-anak nya untuk saat ini harus berpindah disini, sampai semua kembali baik dan normal. Keinginan ini mempunyai tujuan bila telah waktunya semua teluh ini harus selekasnya di mengakhiri.
Sampai menjumpai mufakat bila esok pagi semuanya wajib tinggalkan rumah ini walau masih juga dalam kondisi berdukacita. Duka itu pasti jadi rasa yang paling berat buat mereka. Tanah makam masih basah, harus ditinggal untuk menghindar hadirnya maut kembali!
Keluarga bu Santi, adik kandungan dari mendiang pak Samsi, ingin memuat mereka. Walau sanak saudara lainnya malah menampik takut terkena dampak dari pengetahuan menyimpang ini. Lima bersaudara pak Samsi sebagai anak paling tua dari ke-4 adiknya, bu Santi adik paling kecil yang telah memiliki keluarga terketuk hatinya, berasa kasihan menyaksikan kakak ipar dan anak-anaknya terkatung-katung terlarut dalam duka hidup dengan merengkuh ketakutan oleh kematian yang kapan saja bisa mendekati mereka.
"Mbak Nach, percaya tidak ingin turut kami mbak?" bertanya bu Laras pada ibu.
"Doa kan saja mbak Laras, jika saya turut menemani mbak di situ, semuanya tidak pernah usai!" jawab ibu, pada teman dekatnya itu.
"Mudah-mudahan semua dalam naungan Allah ya mbak Nach, saya dan anak-anak tidak tahu harus seperti mana untuk semuanya ini," Bu Laras berkata sekalian merengkuh ibu ku.
Ibu ku cuman merengkuh, memperkuat teman dekatnya itu.
"Kamu harus kuat dengan semuanya mbak, sama berdoa, mudah-mudahan selekasnya semuanya usai. Bismillah mbak,"
Sekarang mereka pergi ke arah tempat tinggal adik iparnya, kami bertiga masih di sini dengan banyak mistis yang hendak di temui kelak. Kembali menyiapkan diri, iman, untuk kembali hadapi dukun dengan seribu jin kirimannya.
Berikan pada diri, bila dengan kepercayaan, maka di temui kemenangan.
Rintangan itu tidak selesai tanpa berani hadapi. Mengambil langkah walau harua mati di jalan sebagai ketetapan kebenaran.
Comments
Post a Comment