Benar larut malam waktu rembulan malu menampakan diri. Di dalam ruang hotel, denting jam mengeluarkan bunyi...
Ting! tong! ting! tong....
Suara jam tua di kamar ini, merecoki kenyamannan tidurku. Meski sebenarnya waktu masih jam dua belas malam, 'dasar jam tua' umpatku.
Tidak tahu telah berapakah lama saya tertidur, tapi pagi belum lagi ada. Pada akhirnya saya menetapkan untuk bangun, sesaat saya melirik jam tua. 'Ya tuhan bagaimana dapat masih jam dua belas malam' pemikiran ini melayang-layang.
Lalu baru saja mengeluarkan bunyi serta mengacau tidurku, apa itu, mungkinkah jam tua ini mati. Atau saya barusan cuma mimpi. Ah, biarlah lebih bagus saya keluar kamar hotel ini.
Waktu buka pintu, yang nampak cuma gelap. Tidak ada pencahayaan sedikitpun, menciut rasanya diri ini memandang kegelapan yang seolah tidak ada ujungnya. Aku juga tutup kembali pintu, coba cari apa yang dapat saya melakukan buat melenyapkan suntuk.
Jam tengah Malam
Sewaktu memandang jam tua, mendadak lolongan srigala bersahut-sahutan bikin menciut bulu-bulu roma. Diri ini sangat percaya meskipun pada kondisi mabok, kalau tadi malam saya masuk di hotel benar waktu sebelas malam serta pastinya hotel bintang lima yang dipilih. Lantaran, saya anti kalau mesti menunjuk hotel murahan.
Brrreeek!
Suara pohon ambruk menganggetkanku, diriku berasa seolah-olah tengah camping ditengah-tengah rimba.
Saya masih setia di atas tempat tidur, didampingi sinar yang tamaram dari lampu yang anyar saya tahu nyatanya cuma lima wat. Saya tersenyum simpul mengayalkan tidur dalam waktu lama nyatanya malah cuman satu jam.
Kriiieeet... baaalllm....
Jantungku nyaris lepas dengar suara pintu yang ditutup scara kasar. Untunglah, diri ini masih terhitung muda.
Tok! Tok!
Sebelumnya kedengar ketukan dengan irama lambat. Tapi, beralih jadi sebuah geduran, serta 'bruak' suara pintu sukses didobrak. Langkah kaki masuk sebuah tempat kedengar sangatlah terang, ditambahkan suara rintihan yang bikin bulu-bulu kuduk meremang.
Saya diam, di atas tempat tidur, mengolah seluruh yang berlangsung. Waktu beberapa suara itu lenyap, diri ini coba memjamkan mata, anyar sekilat saya memjamkan mata. Mendadak, berasa sebuah sentuhan halus dikepala.
Saya sangatlah mengharap ini seluruh mimpi. Meskipun, terasa riil. Rasanya begitu prima buat sebuah khayalan. 'Mungkin resiko alkhl, atau juga sb' yang saya gunakan, pikirku.
Sentuhan tersebut masih berasa, juga saat ini beralih jadi cengkeraman di rambut.
Waktu diriku buka mata, begitu terkagetnya nampak orang-tua separuh baya, tengah tiduran disampingku. Genta mengucur dari cedera di kaki, serta sebuah r0bekan di perut yang mempertunjukkan isi dalamnya, saya nyaris menjerit sebelumnya lantas ia membungkam mulutku serta merengkuh lantaran tahu saya dapat menentang.
Genta merembes kebaju yang saya pakai, was-was saat itu juga, sekujur badan gemetaran.
"Tenanglah serta diam, kalau mau selamat!"
Perkataannya dingin bisa membuatku diam membeku saat itu juga. Memandang saya tidak kembali berontak, ia mulai membebaskan bekapan tangannya serta merenggang secara perlahan-lahan, barangkali sembari membatasi perih dilukanya.
Saya diam serta tunggunya buat bercakap mengatakan apa yang berlangsung. Dia masih mematung dingin tidak berubah.
"Pak, sebetulnya apa yang berlangsung?"
Kedengar suara bassku mengalun penuhi tempat.
Bruk!
Gak! Tuk! Gak! Tuk!
Derap cara satu orang mengalun di koridor.
'Shuuttt....'
"Pelankan suaramu!"
Orang-tua itu menyuruhku menyembuhkan cederanya. Perlahan-lahan saya jalan ketujuan almari,tempat perabotan yang di tunjuknya. Begitu saya dibentuk terkejut oleh karena ada perabotan klinik komplet di tempat sebagai berikut.
Banyak pertannyaan membuncah di otakku, sehabis nyaris sepuluh menit cari pada akhirnya saya mendapatkan yang perlukan.
Saya bawa segalanya, ditengah-tengah sinar tamaram ditolong dengan lampu sorot saya mulai menyembuhkan. Tiada 0bat b1vs yang membuatku menyumpal mulutnya gunakan kain, biar waktu merasai sakit ia tidak bebalik menggigit bibirnya.
"Ini begitu menyakitkan," bisikku.
Sehabis mengenal group darahnya, saya mulai cari kantong darah yang sesuai lalu memulai menempatkannya, begitu pula dengan infus.
Sebetulnya saya sangatlah hormat dapat perjuangannya untuk tetap bertahan hidup. Nampak terang ia membatasi sakit, waktu saya mulai bersihkan cederanya.
Telihat bulir bening menetes di pojok matanya, saya mulai menjahit perlahan-lahan cedera di kakinya. Kadangkala kedengar erangan serta badan yang sedikit bergerak.
Nyeri dengarnya. Bisakah dia bertahan, dengan terasa sakit dirasa? Keluhku dalam hati.
Sehabis usai dengan 9 jahitan, saya arahkan lampu sorot menjurus perutnya, nampak terang isi dalamnya. Nyatanya satu ginjalnya udah lenyap, saya memasukkan lagi yang terkeloyak lantas mulai menjahit.
Nampak napasnya tersengal serta lemas. Lantas tidak sadar diri. Karena barangkali terasa sakit yang penting ia tahan. Sehabis usai, serta mendapati tiga puluh dua jahitan.
Langsung saya merapikan perabotan serta meletakannya di atas meja. Lantas mengontrol tetes infus biar tidak cepat habis, lantaran ini merupakan infus hanya satu, sedang kantong darah saya tidak usah waswas, lantaran darah kami sama maka dari itu saya dapat ambil darahku kalau memanglah dibutuhkan.
Tidak tahu telah berapakah lama, anehnya nampak jam tetap masih waktu dua belas malam, apa jam itu hancur saya tidak tahu. Yang terang arlojiku pula memberikan saat yang sama.
Tidak tahu ada di mana saat ini HP kersayangku. Satu yang terang faksi hotel larang tamu bawa HP masuk ke kamar. Mereka berencana siapkan tempat buat menitipkan.
Sedikit ada rasa sesal dihati udah mengerjakan kekeliruan. Seumpama saya pada kondisi sadar, barangkali saya tak kan ada di tempat ini.
Sebuah Dinding Lorong Gelap
Untuk mereka apa saya dokter muda bodoh? Membinasakan rekam jejak yang udah dibuat. Gunakan 'terlarang', serius satu ke khilafan. Sebelumnya saya pikir segera bisa istirahat serta mendapati ketenangan secara sesuai itu.
"Nak..., mari cepat keluar dari sini!"
Sebuah suara panggil membubarkan lamunanku saat itu juga. Sedikit terkejut, lantas menengok.
"Tetapi bapak masih tercedera."
"Gak boleh cemaskan.kuatirkan saya kamu cuman perlu keluar dari sini,"
Memandang tatapannya aku juga menurutinya, saya jalan pelan-pelan masuk sebuah lorong sempit. Baru-baru ini saya masuk di lorong, kedengar suara pintu di gedor serta suara shooting yang memekakkan telinga.
Mataku berembun, tidak dapat rasanya kaki ambil langkah. Orang-tua itu sudah tentu mati ketembak. Saat ini menggema cuma suara langkah kaki serta suara orang mencariku.
Masih diam, saya tidak bergerak maupun bernada. Sangatlah takut.
Sehabis langkah kaki paling akhir tinggalkan tempat, saya tergesa-gesa jalan. Nyatanya lorong ini ada di dalam dinding, saya cuma dapat jalan sembari berjongkok lantaran tempat ini sangatlah pendek serta sempit.
Sesudah itu serasi pada bagian sejajar dengan mata merupakan kaca sedikit gelap. Tetapi dapat bikin kita memandang apa yang berlangsung di luar.
Kaca ini dipasang sepanjang gedung ini, beberapa orang yang memandang nyata menerka merupakan model spesifik.
Waktu jalan saya memandang sinar redup dalam ruang, saya duduk serta memandang apa yang berlangsung. Nyatanya ada sebagian orang sedang kerjakan operasi di orang wanita. 'Mungkin ini merupakan tempat pemasaran 0r94n' pikirku.
Coba menebak, kalau tempat ini nyata menjadi tempat beberapa penculik menjajakan beberapa korbannya.
Selanjutnya siapa bapak tua yang saya obati, bagaimana ia dapat tahu tempat rahasia ini? Juga yang lain tidak ada yang tahu.
Kaki berasa keram, saya coba memaksakankannya untuk tetap jalan. Ketika mau ambil langkah mendadak pintu terbuka, sekelompok laki laki sejumlah 7 orang memakai pakaian putih seperti perawat masuk tempat, dengan gagahnya.
Mereka memberitahukan, kalau mereka kehilangan jejakku. Nampak HP yang mereka pegang diberikan terhadap satu orang. Saya mengenal sekali dengan HP yang tengah mereka otak atik itu, yah itu merupakan HP punyaku.
Kalau pulang kerumah saya takut, mereka mengenal kemunculanku. Melapor polisi, kayaknya pula bukan buah pikiran yang bagus, lantaran ini tentu akan dibentuk serapih mungkin.
Malah saya dapat ditangakap lantaran pemakai. 'Siapa yang bisa meyakini orang tidak sadar? Keluhku kembali meruntuki.
Perlahan-lahan saya ambil langkah, wafat mereka yang sedang repot dengan HP punyaku. Dalam pemikiran cuma ada sebuah kata, "apa saja yang berlangsung sekurang-kurangnya. Jangan sempat saya mati konyol, lantaran takut coba."
Acara pesta Kegelapan tengah Malam
Waktu hingga sampai di ruang yang nampak kerlap-kerlip, saya melirik nyatanya, di sini ialah tempatku 'memakai' barusan. Mempunyai arti tim ini bekerja bersama-sama dengan hotel itu? Sedikit ada tidak serupa di tempat ini, nampak beberapa orang yang berjoget, seperti tidak punyai hasrat hidup. Juga mereka terllihat banyak menunduk.
Waktu kaki dapat ambil langkah, mendadak tatapan dari orang wanita sangatlah menyerang. Seolah ia bisa melihatku. Saya termenung, takut itu nyata.
Bulu-bulu kuduk berasa meremang, selayaknya di sini tidak ada angin, kenapa rasa dingin di tengkuk mendadak merambat pada semua badan?
"Apa kamu orang anyar di sini?"
Deg!
Rasanya, jantung stop berdetak, sedetik lantas jantung berdetak sangat kencang sekali.
Maksimal saya lari. Sayang itu cuma berada pada dalam imajinasiku. Kaki berasa dipaku maka dari itu sukar digerakkan.
Waktu tangan itu sentuh bahu, berasa dingin merambat kian jadi. Rasanya pengin saya berteriak. Cuma, jangankan berteriak keluarkan suara bercicit juga saya tidak dapat.
"Mas, kamar berapakah? Kelak saya antara. Mas nampak tidak nikmat tubuh."
Astaga saya menggigil, coba membatasi diri. Waktu balik, malah ia yang nampak tidak nikmat tubuh. Bagaimana tidak muka pucat serta kira-kira mata punya warna hitam seperti kekurangan tidur. Malah lebih nampak menyeramkan dibandingkan bapak yang saya obati.
Comments
Post a Comment